Rabu, 12 November 2014

~ olah rasa ~

Oke sekarang aku mau bicara tentang rasa. 
Rasa yang sering datang bersamaan dengan hujan yang tajam menghujam remah tanah yang kesunyian. Rasa yang datangnya bersamaan dengan bayang wajah yang belakangan begitu mudah tergambar di dalam kepalaku. Wajah yang demikian tenang, setenang ucap dan perilakunya. Ketenangan yang tiba-tiba tanpa kuminta menyeruak dan menimbulkan rasa di hunian hati yang telah lama aku abai. Rasa yang sangat sulit kutuangkan dalam kata. Atau memang aku tak pandai menerjemahkan rasa. Rasa bagai bahasa asing yang bahkan satu kosanya pun tak kukuasai. Aku merasa gagap dalam merasa. Sehingga aku perlu diam sejenak untuk mengolahnya. Olah rasa. 
.
.
.
.
.

Dia.
Ya, dia yang belakangan wajahnya begitu sering muncul tanpa kuminta. Dia adalah yang kurasa, yang memaksaku untuk segera bertindak agar tidak kebablasan. Dan mengolah rasa ini tak kuduga demikian sulitnya. Sulit, karena saking lembutnya ia hadir dan menetap. Tanpa suara, tanpa geratak, tanpa nafsu. Saking lembutnya hingga aku merasa hadirnya bagai udara yang kuhirup tiap detik. Dan sepertinya dia tak keberatan. Ringan saja. 
Namun tentu, tak mudah bagiku untuk tak gelisah. Ribuan kata yang kuucapkan padanya menunjukkan kebodohanku mengolah rasa. Entah apa yang ada dalam benaknya melihat dan membaca kedunguanku. Kadang aku peduli, selebihnya aku begitu malu, rapuh dan tolol.
.
.
.
.
.

Sekarang bayangnya berpendar-pendar dalam bilik hatiku yang nyaris gelap. Aku biarkan saja ia di sana. Toh, aku tidak mengundangnya. Biarkan dia leluasa menguasai hatiku yang nyaris mati. Siapa tahu keberadaannya menyembuhkanku. Siapa tahu. 
Walau begitu tentu aku tak mau rasaku ini membuatnya jengah dan patah. Biarkan aku tertatih-tatih mengolah rasa yang bagai energi yang tak tergantikan ini. Hanya aku. Bukan dia. Bukan kami. 
Tak kan ada kami. 
Olah rasa itu belum selesai.

Jakarta, 12 November 2014
Sejurus buku Ramalan Tentang Muhammad yang nyaris usai. 

Minggu, 02 November 2014

~ this journey ~

Sekian kali aku merenungi hidupku yang seperti roller coaster. Sesaat senang, sesaat sedih, sesaat mampu, sesaat lunglai. Lucunya, setiap aku jumawa, Allah mengingatkanku serta merta. Bagiku, Allah itu cash and carry. Mengingatkanku akan kesombonganku dengan seketika tanpa jeda waktu. Dan kadang tanpa henti. Dulu aku bingung, marah, kecewa...mengapa Allah "menghukum"ku. Namun sejurus waktu dan pendalaman hati yang tak sebentar, aku sadar justru Allah sangaaaaattt sayang kepadaku. Tak dibiarkanNya aku terjerumus makin dalam ke lembah dosa, sifat sombong dan duniawi berkepanjangan. DiangkatNya aku dengan cepat menurut ukuran waktuNya yang sering tanpa aku sadari.

Dulu, dengan mudah aku meraih segalanya dengan uang. Setengah mati berdaya upaya agar tetap berberat 52 kilo, dandan tak sekedar biasa, harus luar biasa. Harus berbeda dari lainnya. Rambut tak pernah hitam. Rasanya tak ada merk tas yang tak aku punya. Pokoknya harus gaya, harus beda, harus punya. Hingga akhrnya Allah mengambil itu semua dariku, semata karena Ia begitu sayang padaku. Bertahun baru kusadari itu. 

Dia memberiku kanker payudara stadium 3B. Dia memberiku perceraian. Tapi Dia memberiku kekuatan. Dia memberiku 3 gadis yang gadis yang luar biasa. Dia memberi cinta!

Tak selesai di situ, Dia mengambil hartaku tapi Dia mendekatkan hubunganku dengan keluargaku, Dia memberi 3 gadis yang paling hebat di dunia. Dia memberiku cinta!

Oh, masih kurang, Dia memberi kanker payudara lagi, kali ini stadium 4 yang sudah menjalar ke mana-mana., tapi Dia juga memberi teman-teman dan sanak saudara yang mengulurkan bantuan tanpa tanya tanpa pamrih. Dia memberiku seorang dokter yang kupanggil Budha Meitrya yang berhati tulus, berotak cerdas, bernyali juara untuk menjadi sarana pengobatanNya. Dia memberiku cinta!

Sekian kali aku merenungi hidupku yang bak roller coaster dan aku bersyukur, Allah memperkenankan aku menikmatinya. Namun demikian aku tak ingin orang lain ikut mengendarai roller coaster sepertiku. Biarlah perjalanan ini aku nikmati sendiri. Biarlah aku egois kali ini.

Jakarta, 2 November 2014

Seraya mengucap syukur alhamdulillah atas kemajuan kesehatanku yang tak lain karena cinta, dukungan, doa dan bantuan materiil dari berbagai pihak yang tak bisa kusebutkan. Terima kasih khususon kepada Dr Walta Gautama, SpB Onk. yang demikian sabar dan tegas mendampingiku. Alhamdulillah.

Hidupku untukku, untuk anak-anakku, dan kuharap Dia masih memberiku kesempatan untuk bermanfaat bagi banyak orang.