Selasa, 24 Mei 2011

~ bosan ~

aku duduk menganggur berhadap-hadapan dengan hujan
hujan yang datang dengan beringas sejak siang
dan tak mau pulang
aku menunggu

kupikir-pikir, bosan juga bertengkar dengan kamu
pertengkaran yang tak pernah menemui ujung
karena hati yang dua-duanya menjadi fossil
kaku

maka aku sekarang bertambah kawan
yang sering menemuiku walau tak diundang
dan menanamkan rasa bagai duri tajam
bosan namanya

hujan masih beringas
aku masih menganggur dan berkawan bosan
sedang engkau nyap-nyap tak jelas apa maumu
kamu sangat tidak tahu siapa aku

Jakarta 24 Mei 2011

Rabu, 11 Mei 2011

~ Inspirasi ~

Seorang teman pernah bilang, inspirasi itu bagai maling, datang tak diundang, pergi pun diam-diam.. Aku sedikit setuju dengan pendapatnya, namun maling punya tujuan mencuri, sedang inspirasi justru mendatangkan sesuatu (pada benak kita), atau memang ada yang ia curi? Ah sudahlah....
Yang jelas, aku sedang menunggu datangnya inspirasi yang sudah sekian lama tak jua datang (diam-diam, mau pun dengan gemintang). Dan memang betul almarhumah ibuku bilang, biasanya yang ditunggu-tunggu itu tak serta merta datang, karena Tuhan memang gemar menguji kesabaranmu.

Dan selagi aku menunggu dengan takzim (atau lebih tepatnya pura-pura takzim), sahabatku Rampa' Maega, mengirimkanku sebuah tulisannya tentang hujan. Indah berbalut bahasa Inggris yang nyaris sempurna. Ia menulis tentang cinta, rasa dan keindahan. Seharian aku baca berulang-ulang tulisan itu, dan sekonyong-konyong inspirasi pun datang. Betapa hujan selalu membuat rasa mangu, ngelangut, memadamkan gejolak yang meluap, mengukir cinta pada khayal di hati yang diam-diam mendamba. Hujan pun meluluh lantakkan arogansi manusia yang suka menantang matahari. Hujan memberi sejuk pada garangnya. 


Oh, aku melantur... Ini dia tulisan yang kumaksud di atas. Dia menuliskannya untuk kekasihnya, dan ia ijinkan aku mengintipnya. Sekarang aku bagikan kepada anda, sahabatku semua :

~Rainfall~ by Rampa' Maega
“Count on me as the rainfall,” you indistinctly gestured it, but your eyes lingo’s clearly told me just that. It was the first thing came up in mind with no reasons at all, no explanations either. You don’t need such things, do you?

I always love rain as I enjoy reading the language on your face. It is a gift from the universe, but an overwhelming one will lead into calamity. It makes the buds sprouted, but in the other way around causes flood. Forget about human intervention on the last one! That’s not what I currently intend to talk about. Or perhaps, I don’t want to end up in a never ending debate which always wins you.

And your face which is suddenly becomes rain in my eyes, splashes alphabet in random order. It mostly comes as drizzle, but sometimes poured out heavily. Trade your eyes with mine, and you’ll discover how rich yours with space. One gigantic world, but tiny enough for me as you’re the only dweller on it. Both of us could possibly step on the same meadow, but there’s no guarantee we perceive the same grass.

“I begin to believe that you’re such a rainfall in human form,“ I whispered to convince myself. I am wet enough already before you came but I have no answer why this umbrella did nothing. The denser the clouds who sent you, the more I found myself dry. Perhaps, that’s why I don’t need this umbrella.

And at last, I found myself rotten …

Transformed into liquids …

Diluted …

Aqueous …

But still, eagerly to be showered by the rainfall: you.

Bandung, 6 May 2011 2:13 am.

Selamat menikmati hujan...
Jakarta 10 Mei 2011