Senin, 24 Oktober 2011

~ pagi ini aku sarapan gundah ~

biasanya kusiapkan semangkuk oatmeal untuk tenagaku
dan kuseduh seperempat liter teh hijau hapus dahagaku
namun pagi ini berbeda
berbeda karena bukan uba rampen itu yang kujumpa

kudengar di luar awan bergulung-gulung
gemuruh petir bersebadan dengan kilat yang menyambar gahar
lalu hujan bagai air bah merontokkan sendi-sendi bumi
aku kehilangan nafsu makanku

hingga tertatih kukumpulkan nyaliku
untuk duduk di pangkuan semesta
berangkulan dengan langit menatap resah
suap demi suap kujejalkan gundah

Jakarta 24 Oktober 2011

~ menelan dendam ~

aku perawan yang basah oleh khayal
bercumbu dengan sekawanan rindu
dan kemudian diperkosa jaman
rusak bagai keju yang kelamaan

sedang kamu menggulung tawa dengan gegap
mengais cinta pada aspal yang beku
bercanda dengan takdir
bagai lupa bahwa kamu hanya manusia

ingin kutikam hatimu dengan rapalan doa sesat
agar tubuhmu lantak menyatu dengan tanah
ingin kujejalkan kutukan semu
pada otakmu kaku tak bergerak

tapi Tuhanku berkata lain
diberiNya ku buntalan kasih yang tak bertepi
hingga akhirnya aku mengerti bahwa
sendiri adalah kawanku yang sejati

bukan kamu


Jakarta 24 Oktober 2011

Minggu, 16 Oktober 2011

~ mencumbu nafsu ~

sang kala menjentik-jentikkan jari pada tubuh mendewasa
memercikkan gelora yang menyala-nyala dalam sukma
membentangkan degup hingga ufuk datangnya surya
kamu ada di sana

lalu saat batin sekuat tenaga mempertahankan norma
berbenturan keras dengan apa yang kita agung-agungkan sebagai agama
sedang rasa sedemikian meraja
kamu masih di sana

aku bertahan pertaruhkan malam tak jadi pagi
lalu pelan kamu mengetuk nurani
membuatku betah berlama-lama
mencumbu nafsu yang kurasa ia bernama

Jakarta Oktober 2011

~ cangkir ke sekian ~

kali ini kita duduk bersinggungan siku
dalam pemikiran sumir tentang gelap
tentang senja yang mengintip
berkerudung pekur

bisikmu, tunggu, aku punya sesuatu untukmu
kujawab, aku tak kemana, apa?
dari gelap kau sorongkan benda memancar kilau
kau sorongkan pula senyum bak kejora

kulemparkan pandang ke arah angin berwarna
lalu pada benda itu sambil memilin gugu
terasa sentak dahsyat luar biasa di dalam dada
memerindingkan kuduk serta merta

matamu memicingkan tanya : please?
kueja semua huruf dalam sanskerta, tanda gugup
telan pana pada kilau yang menyentak-nyentak
pada benda yang kutunggu-tunggu itu,

yang bernama cinta

De Luca, 12 Oktober 2011

Sabtu, 08 Oktober 2011

~ pinta kawan ~

sore itu dari puncak awan
kau selipkan rindu di sela-sela sukma
dengan tutur lirih berbungkus perih
menyemai luka makin dalam prana

"bukalah sedikit pintu itu untukku", pintamu
lembar suaramu berganti-ganti dengan deru angin cemburu
lalu terdengar awan bergulung-gulung memanggil hujan
"dingin", engkau menggigil

{lalu senyap. suaramu lamat. terlambat.}

Jakarta, 8 Oktober 2011

~ nir ~

rumah yang kusebut cinta itu roboh mendadak
tak menyisakan sedikit pun rasa
bahkan curiga enggan sapa
ibarat mata, buta

siapa bisa kusalahkan lenyapnya cinta
kala hati jua hilang nada
ibarat suara, bisu
ibarat lidah, kelu

herannya, tiada aku berduka
linang air mata kutunggu-tunggu dengan takzim
pun enggan meluncur
nir

Jakarta, Oktober 2011 setelah sekian lama diam.