Jumat, 28 Januari 2011

~ jujur ~

berkata pagi padaku,
"maafkan atas mendung yang mengejek"
"sungguh kurang ajar dia, senang betul menempel tenarku"
memang benar
pagi ini mendung terasa menyengat
seolah menandakkan tawanya
tanpa suara
persis serigala menyeringai

pagi bilang lagi,
"tapi kupikir-pikir, banyak juga yang suka tawa sembernya itu"
"buktinya? kau malah menggeliat penuh kepuasan"
ah, jadi malu
ketahuan betapa munafiknya aku
padahal jika aku mau jujur
mendung membukus hangatku
menghapus getirku dan mengantarku memuncak

masih tersisa dua jam lagi untuk disebut pagi
aku tak mau tertinggal waktu
maka kusingkap selimut puraku buru-buru
dan mengusap mendung dengan segala mesra
kubisikkan sebaris kalimat sehalus mungkin
agar ia tak tersinggung, tentu
agar ia segera beringsut mandi
"aku bahagia"

Jakarta, 28 Januari 2011

Selasa, 25 Januari 2011

~ rasaku pada sore ~

sore selalu membuatku melangut
padahal telah kubenamkan lambungku
pada secangkir kopi
dan kusumpal jantungku dengan sepotong kue manis

entah apa yang membuatku seolah melipat masa
meloncat pada dimensi yang berbeda
sore seakan menelanjangi ranaku
dan mengambil sebagian memori otakku

tapi aku tidak benci sore
tidak juga mendambanya, biasa saja
masih kalah dengan nafsuku pada pagi
barangkali karena itu maka ia cemburu

Sore ini tak ada kopi, hanya teh... 25 Januari 2011

Senin, 24 Januari 2011

~ sakit ~

sedang aku masih menelan kemunafikan
kujadikan pil pagi
pil siang
dan pil malam
tiga kali sehari
cukuplah

aku sakit, kata emakku
kukatakan padanya aku kaya
padahal kukais dompetku
hingga jebol jahitannya
saat kubeli nasi di warung depan
saat kubeli nyawaku dari matamu

kukatakan padanya
semua baik-baik saja
padahal kututupi borokku dengan minyak wangi paling mahal
utangan, tentu
kurasa emakku tahu
tapi aku punya pil andalan, tidak peduli

munafik sepertinya sudah jadi darahku
membelit
mengkanker
emakku was was memandang tingkahku
yang sulit sekali jujur
pada jantungku

aku sakit
maka kuminum obat
hingga makin parah
dan kutunggu detak jantungku berhenti
saat itu munafikku selesai
aku jujur, aku mati

Jakarta 24 Januari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

~ menjadikan simpuhku doa ~

Tuhanku,
tempatku menumpukan seluruh hidupku
tempatku kembali

ampunilah aku
(dari segala dosa yang yang tak berbilang)
(dari segala maksiat yang rekat)
(dari segala kotor yang menjadikan aku benam)

sayangilah aku
(karena Engkaulah sumber segala cinta)
(bahkan, Engkaulah Cinta)

tutuplah seluruh aibku
(yang hingga kini masih menjadi telanjangku)
(terlisan, terlihat, terasa)

angkatlah derajatku
(dan Engkau kumpulkan aku dengan ummatMu yang terpilih)
(bukan yang bukan)

rizkiilah aku
(dengan rizki yang Engkau jadikan nafasku)
(yang dengannya aku menderma dengan suka cita)

tunjukilah aku
(menuju lurus yang sungguh-sungguh)
(dan menjauh dari yang Engkau tidak suka)

sehatkan aku
(sehingga aku sehat luar dalam)
(luar dan dalam)

maafkan aku
(jika dalam inginku menguar ego memalukan)
(tapi, bukankah Engkau tahu segala yang tersembuyi?)

Jakarta, 21 Januari 2011
**Sesungguhnya sholat itu adalah "berhadapan hati (jiwa) kepada Allah SWT, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesaran dan kesempurnaan kekuasaan-Nya serta mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya" (Hasbi Asy-Syidiqi, Pedoman Shalat, Bulan Bintang, 1976, 59)**

~ déjà vu ~

masih tentang sup kacang polong
terulang lagi sore ini
haruskah kutemui déjà vu?
persis tepat sore-sore begini
denganmu, lagi
sayup suaramu melembut
"masih terlalu dahsyat untuk sekedar cinta"
sup kacang polongku mendingin cepat
kaget

Sore yang tumben tidak hujan, medio Januari 2011
                                                     

~ dialog sepi ~

sepi membungkus mulut
karena sudah terlalu biasa, mungkin
tak ada yang menarik untuk dijadikan berita
cinta?

dia termenung memandang jendela
yang diciumi dentam hujan yang terkesan kejam
jari-jarinya bertautan membentuk gulana
cinta?

tampak piring-piring sudah dicuci bersih
dilap dengan hati-hati
diatur dengan urutan yang dia tahu
karena cinta?

sang lelaki melirik perempuan itu dengan sudut mata paling sempit
mencoba berkata
tapi akhirnya hanya dadanya yang mendengar
"masih cintakah aku padanya?"

Jakarta, 20 Januari 2011

Rabu, 19 Januari 2011

~ sering kali aku berkata ~

Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipanNya,
bahwa rumahku hanya titipanNya,
bahwa hartaku hanya titipanNya,
bahwa putraku hanya titipanNya,

tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika semua itu diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,

Seolah …
semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah …
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja”
(W.S. Rendra)

Kala diri menggugat rasa rana yang tiba-tiba datang, bertanya dengan kesedihan yang dahsyat pada Tuhannya. Tidakkah ia sadari bahwa Tuhan begitu mencintai ummatNya yang sabar dan berserah diri? Bahwa apapun yang terjadi semata karena IA begitu mencintai? Hanya cinta. Lalu, apakah kita juga cinta?


**terimakasih khususon kepada mas Andre Bhirawa yang mengirimkan bait puisi Rendra di atas pagi ini. Semua karenaNya.**
Jakarta, 19 Januari 2011

Senin, 17 Januari 2011

~ waktu ~

waktu
melaju
tak terkejar
apa aku yang dikejar?
ah, aku tak punya cukup kekuatan
kakiku lelah
aku mengaku kalah

Jakarta, di suatu Senin pagi...

Sabtu, 15 Januari 2011

~ cangkir kedua ~

rasa pahit yang tandas
karena sudah kuberikan semua yang kupunya
hingga kentalnya ampas
semua!
dan kamu masih menggaruk
maruk merajuk

bertahan agar merah hatiku tetap merah
hingga akhirnya sorot matamu mematikanku
dan membawaku pergi
melesat ke atas
menembus awan yang dikelir abu-abu oleh mendung
yang tak dibiarkannya menerang

rasanya,
aku susah kembali


Jakarta, medio Januari 2011 

Jumat, 14 Januari 2011

~ terkenang sejenak ~

kenangan itu
menjambak ingatan menuju angka delapan puluhan
kakiku mengejar langkahmu
menderap
menyusuri dinding putih pucat
agar tersusul sejajar
aku meloncat-loncat
seketika banggaku menguar

lalu kuamati gerakmu
menyapa satu dua
membuka-buka map, buku, apalah itu
bercakap sekejap
mengejar langkah cepat
lalu bilang pada wanita di situ
"Ini adikku!"
aku tersipu

sejam yang lalu
hampir tiga puluh tahun kemudian
kususuri koridor yang sama
sekokoh dulu walau renta
masih pucat meski dilabur warna baru
di sini dulu ku jumpa bangga
hingga kini, masih
pada anak ibuku nomer dua

Kutulis penuh cinta untuk mas Atjiek, 14 Januari 2011

Kamis, 13 Januari 2011

~ percakapan sore ini ~

"Meanwhile...", katamu (hening)
"Apa?", tukasku
kamu menelanjangi rasaku, kau protes
melanjut,
padahal aku belum berkenalan dengan cinta
tidak sekarang, tidak juga nanti
"So?", tanyaku
apa yang kau takutkan, desakku
(aku mulai tak sabar)
sementara senja sudah menjemput
musti sekarang, tak mungkin nanti

"Whatever it takes, then...", suaramu akhirnya
"Misalnya?", belum puas aku
kamu bagai malam yang menghangat
siang yang mengguyur sejuk
(ah merayu lagi dia)
"Bosan", aku sekarang protes
kau bergeming,
kamu memaksaku bersalaman dengan cinta
dan itu lebih dari segala bumi dan isinya
kamu menjadikan aku laki-laki
"Belum cukup?" kau pangkas protesku. Telak.

Pecakapan sore ini di 7/11 Senayan, Januari 2011



~ obat hati ~

ketika hati melemah karena buta
menghitam pekat dimakan maksiat
dibelit belukar dendam kesumat
dengki melumat kerap

ketika sakit hati didihkan darah
iri menghiasi sudut-sudut bisu
tak terbilang riya' yang disangka bangga
undang gratis decak prasangka

ke manakah diri mencari obat
agar lepas semua beban
menjadikan hitam, putih
menjadikan dosa, bersih

tidakkah kita lupa
Kitabullah tumpahkan royal segala rahasia
betapa manusia siakan sedikit kesempatan
membaca dan jadikan ia obat begitu mudahnya

Al Hujjah, 13 Januari 2011


**Dan sekiranya Al Qur'an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, niscaya mereka mengatakan,"Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah patut (Al Qur'an) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul), orang Arab? Katakanlah, "Al Qur'an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al Qur'an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh" QS. Fussilat (41) : 44**

Selasa, 11 Januari 2011

~ melamar doa ~

alunan Gabriel's Oboe
menyusuri ruang religi
menciptakan doa-doa lirih
menawar takdir baru

getar dawai kehidupan masih mencabik luka
adakah rembesan darah menanah menjadi kering?
dan memberi lembaran kulit cinta baru?
lalu menyentuh ujung hati menjadi seri?

pintalan pinta masih mengalun
mengirim perih
mengharap sembuh
memintal andai

buku jari kian memutih
mengepal doa
Gabriel's Oboe berhenti sempurna

Jakarta, dini hari 11.01.11 kala terbangun karena sakit gigi
*terimakasih untuk adinda yang mengirimkan rangkaian musik indah Cinema Paradiso, aku mendengarkan*

Minggu, 09 Januari 2011

~ wanita kekayaan ~

sore ini mendung menjadi payung bumi
awan terlihat malu-malu mengintip di sela ketiak langit
hujan masih jauh dalam perjalanan
mungkin datang, mungkin juga enggan

kamu memalingkan wajah
saat kupanggil pelan
lalu punggungmu memandangiku
memberiku sekelumit kasihan

sepi menjadikan hatiku ramai
ramai oleh gerombolan pertanyaan
yang semua tak terjawab oleh kosongnya otak hati
belaka

sehelai kertas mengiyakan aku belahan jiwamu
tapi sorot matamu membalikkan fakta tertuang
telak
dan memperkosa cintaku padamu

dan kau terbahak pongah bergeming
berkaca pada bangga hingga menyentuh nirwana
aku ini hanya wanita kekayaan
melulu benda

*ditumpahi cerita tentang wanita yang menjadi kekayaan suaminya, bukan istri*
Jakarta 9 Januari 2011



~ cerita dari negeri suka-suka ~

ia termangu di ujung fajar
berpikir tentang dosa
yang panjang membuntuti
nggrundel
mengapa sulit membelit, desahnya
"saat aku begitu ingin merdeka
 melipat isi bumi
 meraup bimasakti"

hingga matahari membentur dahi
ia masih menekuni tanah
menghitung batu bagai hutang tuan
merelakan hatinya dipecut ketakutan
melepas segala cinta yang telah kering
dimakan ketamakan
merakus harapan
berkawan setan

aku memandangnya dari kejauhan
bukannya tak kasihan
tapi sungguh lidahku diikat aturan raja
mataku dibutakan pekak murka
ia masih diam bergelut pikiran dusta
bergelimang sanjungan semu setan berwujud manusia
dan menyumpal jantungnya dengan mimpi-mimpi palsu
di ujung senja aku tertawa, geli

Negeri Suka-suka, Januari 2011

~ rasa tanpa suara ~

s u b u h
kupandang dengkur halusmu
yang sedang asyik mengeja mimpi
menjadikan angan menyata,
ingin

k e r u h
coba jalin kata untuk setiap nafasmu
mengaduk rasa menjadi butiran font indah
agar terbaca,
gagal

l u r u h
tak semudah cinta yang menggumpal
melarikkan sebait sajak cinta
yang ternyata tertabrak sulit,
ah, betapa cinta tak butuh suara

PBR, mendung subuh 9 Januari 2011

Jumat, 07 Januari 2011

~ sulitnya bilang tak cinta ~

hujan masih mengencingi bumi
basah cumbui tanah lembab
memandang mata sayu merajuk
merenda serabut iba
meluluh

atap langit tanpa sangga
masih menggelap pekat
betapa sulit ludahi nyata
dan kembalikan rasa
bahwa aku tak cinta

Jakarta Januari 2011

Kamis, 06 Januari 2011

~ mahalnya kemungkinan ~


bagaimana malam mencintai pagi
jika subuh memintal pinta?
jika mentari merajuk manja?
jika pagi enggan menusukkan rasa?

bagaimana laut meminang pantai
jika butir pasir menggelinjang menantang?
jika ombak tak tenang ribut minta perhatian?
jika karang menggagahi buritan?

bagaimana bunga bergenit pada surya
jika madunya habis dihisap lebah kesatria?
jika mendung mengangkangi mega?
jika angin kasar mengusap rupa?

bagaimana cinta menawarkan labuh
jika rasa lenyap dilumat raksasa angkuh
bahkan iba mendera minta mati karena jenuh
bahkan!

Jakarta, 6 Januari 2011

Minggu, 02 Januari 2011

~ senja bercerita ~

dengus nafas
membelah jalan pasir
kasar
dungu

detak jantung
membias hingga atap horizon
berdenyar
mengharu biru

derap kaki
menghentak bumi
gencar
lunyu

asa
menuju metamorfosa
liar
k a m u.

Atap langit, 2 Januari 2011