Senin, 13 Juni 2011

~ Puisi, vitaminku sejak kecil ~

Adalah ibuku, yang sedari aku kecil mengenalkan bahasa Inggris padaku. Dari aku kelas 2 SD, beliau gencar sekali mengajakku berlatih bahasa yang beliau kuasai dengan sempurna. Awalnya aku malas-malasan saja, namun ibuku tak kurang akal. Dipanggilnya anak-anak sebayaku di jalan Cut Nya Dien (rumahku di Kediri dulu) untuk bersama-sama diajarinya bahasa Inggris. Sebagai anak guru, tentu saja aku jadi tidak mau kalah dengan kawan-kawanku. Maka aku pun mau berlatih agar tak ketinggalan. Bayangkan, kelas dua SD itu aku sudah belajar grammar, tenses dan teman-temannya.


Namun ibuku tidak puas hanya mengajar tentang grammar, beliau juga memperkenalkanku pada puisi-puisi yang beliau hafal di luar kepala. Dua diantara aku masih ingat hingga kini :


The Arrow and The Song (Henry W Longfellow)

I shot an Arrow into the air
It fell to earth I know not where,
For so swiftly it flew, the sight
Could not follow it in its flight.

I breath'd a Song into the air
It fell to earth, I know not where

For who has sight so keen and strong
That it can follow the flight of a song?

Long, long afterward in an oak
I found the Arrow still unbroke;
And the Song from begining to end
I found again in the heart of a friend.


Dan ini ;

Stopping by Woods on a Snowy Evening (Robert Frost)


Whose woods these are I think I know.
His house is in the village, though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark, and deep,
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep. 



Secara rutin, ibuku membacakan puisi-puisi itu berulang-ulang, hingga kemudian telingaku serasa dipenuhi oleh ritme puisi itu hingga kini.
Aku pernah tanyakan mengapa beliau begitu gencar membacakan puisi-puisi itu di setiap kesempatan, jawabnya,"Puisi yang ditulis dengan penuh perasaan membuat orang-orang yang membacanya merasakan suasananya, dan dengan puisi, kita bisa mencurahkan isi hati tanpa memaksa orang lain untuk memahami, dibaca syukur, engga ya tidak apa-apa, yang penting kita bisa mengeluarkan uneg-uneg tanpa gembar-gembor". Dan aku setuju. Tigapuluh tahunan kemudian.
Betapa aku baru menyadari, bahwa orang yang memperkenalkanku pada puisi adalah ibuku sendiri. Dan aku bangga.


Jakarta 13 Juni 2011

Selasa, 07 Juni 2011

~ Percakapan ~

Berbantah-bantahan tentang komitmen membuatku mumet, sebenarnya. Tapi kamu keukeuh. Dan bila kulayani argumentasimu, bisa-bisa hingga esok pagi kita masih bersitegang. Aku menguap. Ngantuk.

Tapi kamu malah menggamit lenganku, kau sodori kopi luwak yang mahalnya minta ampun itu. Dan terpaksa aku menegakkan punggungku. Terpaksa. Tapi tidak untuk kopinya.
Lalu, katamu,"Coba kau terangkan lagi padaku, apa pendapatmu tentang komitmen?". Aku melotot. Sudah jutaan kali aku teriakkan pada hatimu, kupingmu, degup jantungmu, pendapatku tentang itu, dan sekarang kamu tanyakan lagi. Keterlaluan. Kamu ini budheg atau bebal, sih?

Tapi berhubung sudah disogok kopi limbah luwak yang harganya mencapai limapuluh ribu perak per sachet itu, aku bersabar (memang akau agak materialistis, itu aku tidak akan pungkiri hehehe).

"Dengar ya, ini untuk terakhir kalinya". Kamu manggut-manggut persis monyet ditulup (eh bahasa Indonesianya apa ya? ditiup? disebul? di...ah sudahlah).

"Ini pendapatku. Pendapat pribadiku, bukan nyontek, tapi hasil riset bertahun-tahun", ucapku membual. Tapi bangga. Sungguh tak jelas pengaruh kopi ini. Pukul 12 malam lewat dan harus membuat pernyataan tidak main-main, memang membuat kepala melayang dan halusinasi.

Begini kataku;
Pertama, komitmen itu adalah janji pada diri sendiri. Nah jika kamu punya kekasih, pasangan, dan kamu menyatakan mempunyai komitmen, itu berarti kamu telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyakiti hatinya. Kelihatan atau tidak. Dan tidak mengenal kata tidak sengaja. Pasti sengaja. Saat kau nyatakan cinta tapi belum berjanji pada diri sendiri untuk menjaga rasa, maka kamu tidak punya komitmen. Mulai ruwet. 

Kedua, komitmen itu adalah setia. Setia pada rasa. Pada cinta. Dan bukan nafsu. Apa pun alasannya, cinta bukan nafsu, dan nafsu sudah pasti bukan cinta. Bukan setia pada pasanganmu, tapi pada rasa sejak pertama kali rasa itu ditiupkan Tuhan. Jadi, kesimpulannya, komitmen itu berjanji pada Tuhan untuk setia.

Ada seorang kawan, dia mengaku memiliki komitmen pada istrinya, namun hidupnya berkelit dari satu wanita kepada wanita lain. Dia beranggapan harta yang ia serahkan pada istrinya adalah komitmen. Perhatian pada anak-anaknya adalah komitmen. Saking istrinya belum tahu kelakuannya. Dan kalau ketahuan? Apa masih bernama komitmen? Aku mulai melantur sepertinya.

Aku menguap. Serius menguap, hingga keluar titik-titik air mata di sudut kedua mataku. Kopi ini sudah tidak mempan mengganjal mataku. Sedang kamu masih berusaha bertahan. Mulutmu terbuka, seakan hendak melontarkan argumentasi baru.

"Aku tidak setuju,masih ada yang mengganjal dari pernyataanmu itu", katamu. 

Kali ini aku yang berkeras, lalu kuucapkan,"Sejak kapan kita harus saling sepakat tentang sesuatu? Aku tidak punya komitmen itu padamu, demikian juga sebaliknya.Tapi tolong pikirkan semua yang kuucapkan. Hubungan itu resiprok. Jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit. Jangan berkomitmen jika tak siap. Jangan mengaku setia jika tak bisa. Tapi bersiaplah kamu kehilangan Tuhan jika kamu khianatiNya. Bukankah cinta itu adalah IA?".

Kamu diam. Aku beranjak. Ingin tidur. 

Jakarta, Awal Juni. Percakapan ini belum berhenti rupanya. Dan tulisan ini untukmu, sobat.

~ cangkir keempat ~

tepat hari ini tiga tahun lalu, katamu
aku ingat, jelas ingat
saat keringat tandas oleh rasa
dan selalu sesal dan kemudian tak
dan kemudian diam dan kemudian bicara
tentang kamu dan gending-gending cinta sarat makna

lalu mengapa cangkir ini terasa retak
jika kau selalu datang dan tekun menambal?
atau aku yang bebal?
atau aku yang terlalu cinta hingga dungu?
hanya kamu yang tahu
selalu nyaris tahu

sejenak kau sesap hatiku dengan hati-hati
lalu berkata ,"Aku sudah mengerti"
dan kurasakan air mataku melaut, asin
"Dengar", lanjutmu
"Aku selalu menunggu Juni, karena kamulah Juni"
tiga tahun lalu serasa baru saja
namun tetap terasa cangkir ini retak

Surabaya, 7 Juni 2008 dalam ingatan kencang