Selasa, 07 Juni 2011

~ Percakapan ~

Berbantah-bantahan tentang komitmen membuatku mumet, sebenarnya. Tapi kamu keukeuh. Dan bila kulayani argumentasimu, bisa-bisa hingga esok pagi kita masih bersitegang. Aku menguap. Ngantuk.

Tapi kamu malah menggamit lenganku, kau sodori kopi luwak yang mahalnya minta ampun itu. Dan terpaksa aku menegakkan punggungku. Terpaksa. Tapi tidak untuk kopinya.
Lalu, katamu,"Coba kau terangkan lagi padaku, apa pendapatmu tentang komitmen?". Aku melotot. Sudah jutaan kali aku teriakkan pada hatimu, kupingmu, degup jantungmu, pendapatku tentang itu, dan sekarang kamu tanyakan lagi. Keterlaluan. Kamu ini budheg atau bebal, sih?

Tapi berhubung sudah disogok kopi limbah luwak yang harganya mencapai limapuluh ribu perak per sachet itu, aku bersabar (memang akau agak materialistis, itu aku tidak akan pungkiri hehehe).

"Dengar ya, ini untuk terakhir kalinya". Kamu manggut-manggut persis monyet ditulup (eh bahasa Indonesianya apa ya? ditiup? disebul? di...ah sudahlah).

"Ini pendapatku. Pendapat pribadiku, bukan nyontek, tapi hasil riset bertahun-tahun", ucapku membual. Tapi bangga. Sungguh tak jelas pengaruh kopi ini. Pukul 12 malam lewat dan harus membuat pernyataan tidak main-main, memang membuat kepala melayang dan halusinasi.

Begini kataku;
Pertama, komitmen itu adalah janji pada diri sendiri. Nah jika kamu punya kekasih, pasangan, dan kamu menyatakan mempunyai komitmen, itu berarti kamu telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyakiti hatinya. Kelihatan atau tidak. Dan tidak mengenal kata tidak sengaja. Pasti sengaja. Saat kau nyatakan cinta tapi belum berjanji pada diri sendiri untuk menjaga rasa, maka kamu tidak punya komitmen. Mulai ruwet. 

Kedua, komitmen itu adalah setia. Setia pada rasa. Pada cinta. Dan bukan nafsu. Apa pun alasannya, cinta bukan nafsu, dan nafsu sudah pasti bukan cinta. Bukan setia pada pasanganmu, tapi pada rasa sejak pertama kali rasa itu ditiupkan Tuhan. Jadi, kesimpulannya, komitmen itu berjanji pada Tuhan untuk setia.

Ada seorang kawan, dia mengaku memiliki komitmen pada istrinya, namun hidupnya berkelit dari satu wanita kepada wanita lain. Dia beranggapan harta yang ia serahkan pada istrinya adalah komitmen. Perhatian pada anak-anaknya adalah komitmen. Saking istrinya belum tahu kelakuannya. Dan kalau ketahuan? Apa masih bernama komitmen? Aku mulai melantur sepertinya.

Aku menguap. Serius menguap, hingga keluar titik-titik air mata di sudut kedua mataku. Kopi ini sudah tidak mempan mengganjal mataku. Sedang kamu masih berusaha bertahan. Mulutmu terbuka, seakan hendak melontarkan argumentasi baru.

"Aku tidak setuju,masih ada yang mengganjal dari pernyataanmu itu", katamu. 

Kali ini aku yang berkeras, lalu kuucapkan,"Sejak kapan kita harus saling sepakat tentang sesuatu? Aku tidak punya komitmen itu padamu, demikian juga sebaliknya.Tapi tolong pikirkan semua yang kuucapkan. Hubungan itu resiprok. Jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit. Jangan berkomitmen jika tak siap. Jangan mengaku setia jika tak bisa. Tapi bersiaplah kamu kehilangan Tuhan jika kamu khianatiNya. Bukankah cinta itu adalah IA?".

Kamu diam. Aku beranjak. Ingin tidur. 

Jakarta, Awal Juni. Percakapan ini belum berhenti rupanya. Dan tulisan ini untukmu, sobat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar