Senin, 26 Desember 2011

~ rindu ~

siang
hingga siang lagi
aku mencarimu di balik huruf-huruf konsonan
berbaik-baik pada vokal
memporak porandakan diksi dan tata bahasa
tanya mendesak pada kamus-kamus
bertebaran
tak tertangkap

jika engkau adalah aku
dan aku adalah engkau
maka semudah aku berkedip engkau ada
jika jiwa ini penuh olehmu
dan jiwaku ada padamu
maka semudah aku bernapas engkau nyata
seharusnya
namun tetap tak tertangkap

aku rindu

Jakarta 26 Desember 2011

Kamis, 22 Desember 2011

~ selalu ada, walau bukan ~

beriringan semut menyemut
menuju gelimpangan gula tercecer
mendulang haus makin haus
mencekik rasa

selalu ada yang mau saat merasa ampas
merubah ampyang mendadak pahit
tetap ada walau bukan
tetap tak bisa biarpun terpaksa

Jakarta 22 Desember 2011 "curcum perficio"

Selasa, 20 Desember 2011

~ catatan untuk Ra ~

"kadang, melepaskan bayang adalah impian terbaik"
(catatan untuk Ra, sahabatku)

Sore itu aku sedang menikmati vanilla latteku bersama Ra, sahabatku. Sedang ia lebih memilih american coffee dan sepotong brownies untuknya.. Bercerita kami tentang rasa, cinta dan cita-cita. Dia dengan cintanya, aku dengan cita-citaku. Terlihat beban begitu menggelayut di sudut matanya, menyeret hatinya menuju tebing kegalauan. Ah apa yang selama ini kulihat darinya, ternyata tak sejelas sore ini. Betapa wanita yang satu ini pintar menyembunyikan apa yang dirasakannya. Berceritalah ia tentang kisah cintanya pada lelaki yang bukan miliknya. Lelaki yang dia rasakan sebagai cinta sejatinya, namun terhadang oleh banyak sekali kendala.

~ remedi tentang sanga ~

surya geliatkan hangatnya menyentuh muka bumi
aku masih termangu kunyah-kelanakan pikir
tentang semua yang telah kita lakukan
di mega nirwana penuh biru
dan memaksaku tanya pada keliman iman
"adakah ia mewujud?"
"ataukah ia hanya bayang lesu tentang nafsu?"

sementara degup cemburu menjamah raga
akan nyata yang terbentang bak lembah tanpa batas
menjaring rasa yang selalu membuatku lelah
walau ratusan abjad itu berkata sebaliknya
engkau mengukir senyum di lekuk darahku mengalir
engkau semaikan gairah tak terperi di hamparan jantung berdetak
menghentak

jika raga ini mampu bersaing kuat dengan hati 
kan kubiarkan ia menantimu di ujung nirwana
membasuhmu dengan air cinta yang kuseduhkan hangat suam
kan kureguk bekas tetesnya mendulang ikhlas
mendaur ulang rindu 
agar tercabik belasan puas sekali usap
mencandai rasa 

tersadar bahwa engkau hanya butir halusinasi
hujamkan perih meledakkan angkuh
dan hatiku mengerjap kesakitan
tertoreh khayal
terpecut kangen
sedang harapan terkekeh melihatku berdarah-darah
menungguku mati

Jakarta 20 Desember 2011 
inspirasi datangnya bisa dari mana saja, siapa saja..
"masih tentangmu yang membawa inspirasi tak lekang batas"

Sabtu, 17 Desember 2011

~ If ~

pukul dua belas lewat beberapa detik
dua insan masih bercumbu cakap
memindai kias dalam lembaran pesan
mentertawai kesepian

dan
dalam lantun nada yang persis sama
"if only I could turn back time"
"if...." aku mendesah
"if...." ia mendadak gelisah

jika jiwa ini terlahir dulu sebelum lipatan abad
kan kucarinya hingga ujung pelangi
dan berhenti di situ tak ingin beranjak ke masa kini
andai

andai ia di sisiku sekarang ini
kan kupintalkan smaradhana untuk membungkus batinnya
sebelum membiarkannya mandi puas yang tak lekang
dan bersama menyebut asma hyang
"if...."

menjelang subuh
dan kami masih bergelut cerita tak putus-putus
menjadikan asa kencan
walau kenyataan terlalu kelu untuk dirasakan
l a r a

Jakarta, 17 Desember 2011 
"thank you for being my ever-lasting inspiration"
"dan aku rindu,
rindu pada rindu"

~ perpisahan ~

sedang kusemai mangu yang mendadak datang
bercakap kami tentang perasaan
tentang cinta
berupa-rupa pertanyaan yang menggugat
kebanyakan : mengapa?

menyeret pada ujung lalu
saat kau gelandangkan nyata
memaksa dekap rasamu yang menggumpal
pada mimpi
pada khayal berwujud cinta

masih pantaskah kau mencinta kali kedua
jika hatimu melulu miliknya
lalu di manakah setia?
di manakah aku?

tak kah kau sadari hatiku meruyak?
kalbuku ngelu
pernyataanmu menggetaskan rasa
perih

kini
saat musik indah itu telah berhenti sempurna
kau kemas kecewamu menujunya
pulang
dan kubisikkan : selamat jalan

Jakarta, 17 Desember 2011

Kamis, 15 Desember 2011

~ dalam tujuh hari ~

apa yang kira-kira bisa terjadi dalam tujuh hari, menurutmu?

dan ketika aku tengah melara, membuta, mematikan rasa
sosokmu menyelinap di sela hati, mencuri
mengambil diam-diam sesuatu yang kuanggap paling berharga
cinta

dan ketika aku merela
engkau makin masuk, merangsek lalu duduk tenang di situ
aku?
merasakan angin ribut, menelan pucat, unjuk pasi

dalam tujuh hari semua bagai mimpi
ataukah memang ini hanya mimpi
yang seharusnya segera kulupa
dan kembali ingat

wahai Tuhanku Sang Maha Pembolak-balik Hati
padaMulah aku sungkurkan jutaan pinta
dan memohon-mohon agar dosaku Kau ampuni
tapi bukankah mimpi pun Engkau yang menguasai?
maka tak kan kudustai hati
karena Engkau pula yang mendiami
sejenak aku pasrah dan kembali menekuni

Segala puji bagi Tuhan Seru Sekalian Alam, angin ribut itu telah usai...


Jakarta 15 Desember 2011

Selasa, 13 Desember 2011

~ the missing piece ~

ujung malam
awal cakap
dalam kendara gelisah yang menggeliat sepanjang sore
lalu gagap

gagap karena begitu lekat
bagai menjerat tak mau menyat
di situ hingga pintu pagi menguak
susah lepas

"biarkan aku jadi udaramu
menjadi ada, menjagamu agar selalu hidup
dan melapangkan asa hingga ia berubah nyata
sedang kau tetap menjadi air kehidupanku
di sana tenang-tenang menungguku"

pagi menerang
dan kita lelap dalam puas yang menjuntai
hingga senja tiba
berputar tak putus hingga akhir masa

"engkaulah bagian hidupku yang hilang
yang kucari wujudmu hingga ku buta
yang kucari suaramu hingga ku tuli
nyaris muskil
tapi aku rela"

Jakarta 13 Desember 2011, sore yang basah oleh suaramu...

Jumat, 09 Desember 2011

~ lalu aku ~

dan kemudian jiwaku mati
mati terbakar bersama ilalang yang tumbuh di ranah merah
hingga tercerabut dari segala rasa
tandas

percuma marah sebenarnya
karena toh amarah ku sudah tak punya
miskin rasa
hanya pana

lalu biarlah seluruh yang kupunya sirna ditelan angkara
lalu aku dan diriku menjadi sendiri
menjadi kawan sisa-sisa harga diri
kemudian lantak

Jakarta 9 Desember 2011

Kamis, 08 Desember 2011

~ bercakap dengan takdir ~

sapamu yang lembut meriakkan gelombang getar yang menderu-deru di dalam sana
meredakan segala resah yang membelengguku belakangan ini
menjawab berjuta pertanyaan yang bergulung-gulung
tentang kita

{andai sinar wajahmu bisa menular
kuingin raup semua hanya untukku
dan kubungkus dengan segenap rasa yang kupunya
agar kita selalu bersama
kau pernah bilang bahwa aku tiaramu
yang kau sunggi dengan jiwamu yang memancar kasih
kau bawa kemana saja hingga ujung waktu
karena cintamu}

lalu di manakah waktu?
masihkah kita punya?
sedang bukan hanya rasa yang kita pelihara
cinta hyang pun jadi belukar menawarkan perih

sejenak kau diam seolah labuhkan pikir pada angin yang datang tiba-tiba
katamu kemudian :
andai boleh memilih waktu, hanya engkau
meski waktu purna tugas digantikan oleh waktu yang baru

dan kita menjadi kupu-kupu
melepas angan dengan segenggam harap
agar selalu berdua bercakap dengan takdir
walau waktu baru silih berganti datang
walau tubuh tak kuat menyangga
selalu ada jiwa
yang mencinta

hingga moksa
hingga moksa

Jakarta 8 Desember 2011
seperti yang kuserap tentang Kara dan Kanaya
tentang kehidupan dan cinta yang tak berbatas
"terimakasih mas Dimawan Krisnowo Adji atas musik dan cerita yang luar biasa...:)"

Selasa, 06 Desember 2011

~ pas encore ~

sudah kuduga dari awal

lembayung memang masih terlalu dini datang

tak juga berwarna ungu kesukaanku

tak juga menyapa dengan gairah kemauanku

masih terlalu jingga untuk dicinta

belum waktunya...

Jakarta, 6 Desember 2011

Jumat, 02 Desember 2011

~ virtual insanity ~

bukan
bukan tentang Jamiroquai
bukan tentang khayalan kegilaan masa depan
yang sebenarnya terpeta sejak kini
bukan

ini tentang rasa
rasa yang menekan hingga inti bumi
dan memuncratkan gelisah hingga pucuk bulan
tentang duga, tentang takut, tentang aku
aku dan pertanyaanku

betapa pertanyaan tentangmu berkelindan memasung pikir
muncul bayang maya yang membuatku separuh gila
kamu
dan senyummu
dan ketulusanmu yang tak bertepi

dan kini
dalam kesendirianku yang ramai
hadirmu menambah sepi yang mencubit hati
membuatku ngeri
ngeri jatuh hati

Jakarta, 2 Desember 2011

Kamis, 01 Desember 2011

~ malam satu desember ~

kenangkanlah tentang malam itu
tentang gelisah menunduk-nundukkan hati 
susah payah bercakap dengan gelap
lalu mengencani sepi
mengecup senyap

sebenarnya apa yang kita tunggu, tanyamu 
ada gusar dalamnya, ada murka tertahan geram
bentangkan cinta hingga ufuk dan berlayarlah
sahutku menantang bak celepuk
membekapmu dengan diam

lalu kita kembali menekuni tautan jari yang mengering
menata lara agar tak lagi mencibir
jelang satu desember
suaramu menipis berbisik mendekati lirih
"kan kutelusuri fajar dengan janji"

Jakarta, 1 Desember 2011

Selasa, 29 November 2011

~ mengelanakan lara ~

dan kusematkan butir air mataku pada lipatan doa di tengah malam
tenggelamkan seluruh asa muluk yang menggunung di dalam dada
dan kemudian mengaku maksiatku padaMu
lengkap dengan sejuta kembang dosa 

bergulung-gulung lembar tangis berbunga gulana kuserahkan
lelah rasa bercampur resah yang mendera
yang tak mampu kusangga dengan imanku yang melemah
maka ijinkan aku merela Ya Tuhanku
mengelanakan lara
melarungkan gundah
mengingatMu
mengingatMu

Jakarta, November 2011 untuk VS

~ tidur tak bermimpi ~

bercakap denganmu sore ini
bercerita tentang hujan, rentang waktu dan kelelahan
berandai-andai menguncupkan rasa
menjadikannya tak biasa
menjadikannya asa

masih tentang kamu dan senyum yang mewarnai mendung
menahan hujan agar tak basahi lukisan alam
dan menjadikan cinta yang tak biasa
menjadi biasa
menjadi asa

dan saat malam mulai menunjukkan kekuatannya
tak seorang pun mampu menduga
adakah lelap memanggil khayal
atau adakah doa sebagai penangkalnya
dan menjadikan tidur tak bermimpi
nyata

Jakarta, dalam cerita yang tak terduga
(picture courtesy of Damasus Panggah CH)

Rabu, 23 November 2011

~ sampai di mana kita? ~

lalu senandung  "Yang Terlupakan"
milik iwan fals itu membujukku untuk selalu ingat kerlip matamu
mengikutiku kemana ku pergi pagi itu
setelah pertemuan malam sebelumnya
yang entah kapan

lalu kamu merajuk pelan tanda cemburu
saat dudukku beringsut menjauhi malam
"sribu kata menggoda, sribu sesal di depan mata"
buru-buru kamu berbisik
seburu sinar matahari menabrak bumi di pagi hari

lalu memori berloncatan minta perhatian
hingga aku terengah mengejar agar tak tertinggal
agar engkau selalu di dalamnya
agar aku selalu ada di setiap sisinya
ganti aku mengiba

sekarang aku kelelahan
"sampai di mana kita?"

Jakarta 23 November 2011

Jumat, 11 November 2011

~ kamu dan Lombok ~

sudah seminggu tanpamu
walau setiap malam suaramu memecah sepi
bercerita tentang Narmada
membelah Pusuk
bercakap dengan Parisean
menggebu
bergelora

andai raga mampu melesat menemani
merasakan petualangan tanpa henti
melesakkan cinta hingga pangkal rasa
bercanda dengan awan Gili Meno
memenjarakan sepi di tepian Rinjani
memilin jari
mengawinkan hati

andai bukan hanya suaramu yang mendatangi
menjadikan malam terang
menjadikan sunyi ramai
berbincang melawan mimpi
namun Lombok terlalu memikatmu
dan aku harus menawarkan kalah
di tengah sinyal yang pecah-pecah

Cepat kembali...kami rindu
Jakarta 11.11.11

Kamis, 03 November 2011

~ dan keikhlasan itu....~

dan keihklasan itu adalah rentang waktu
derap jantung
dan lipatan malam yang tak bertepi
tanpamu

menjejak sakit menjadi sembuh
tanpa obat melulu doa
menandak sedih menuju bungah
tanpa susah payah

dan keihklasan itu adalah pasrah
setelah hamparan pinta
dan tumpukan siang nan kerontang
berharap denganmu

merendahkan hati meninggalkan sombong
tanpa gegap gempita
merelakan perih mencabik rasa
masih tanpamu, hanya ikhlas

From our Blackberry Messaging, doc...thank you.
Jakarta 2-3Nopember 2011

Rabu, 02 November 2011

~ renjana ~

Hitungan langkah berderap kacau
Meniti ujung selendang cintamu
Bergoyang bumi seakan menari salsa
Menatap butir airmata jatuh tak terseka 

Getar lidah tak putus berujar lara
Gelinjang bibir menahan pedih luka
Satu kata terpikir tapi tak jelas makna 
Ahhh sudahlah .. 
berkata atau tidak, luka tetap menganga 

Kutinggalkan semua warna bianglala
Kususuri pematang takdir hingga lenyap lenyap dahaga
Kan kucari satu jawab atas tanya
Apakah renjana ini sudah dalam rencanaNya ?

Kutunggu Jawab datang berkendara waktu .. 


BATAVIA , 01/11/11

~ alexandra ~

Alexandra sebuah nama
apa arti semua nama?? kata shakespeare
Nama adalah doa, begitu katanya

Alexandra sebuah nama
nama yang disandang angkuh pemiliknya
tak kenal kompromi jika terganggu
tetapi selembut ibu pertiwi bila jatuh hati

Alexandra sebuah nama
nama yang jarang terucap walau oleh pemiliknya
tapi apalah arti ucapan, jika makna tidak tertera
maka, biarlah nama itu tetap membisu dalam makna

Alexandra sebuah nama
aku suka nama itu dan mungkin bukan hanya aku
nama masa lalu yang masih menunggu dan menanti
Menanti diujung senja yg mulai memudar merahnya



~ Mulai hari ini, saya akan unggah puisi atau catatan dari kawan-kawan dekat saya, semoga bisa menikmati~

Senin, 24 Oktober 2011

~ pagi ini aku sarapan gundah ~

biasanya kusiapkan semangkuk oatmeal untuk tenagaku
dan kuseduh seperempat liter teh hijau hapus dahagaku
namun pagi ini berbeda
berbeda karena bukan uba rampen itu yang kujumpa

kudengar di luar awan bergulung-gulung
gemuruh petir bersebadan dengan kilat yang menyambar gahar
lalu hujan bagai air bah merontokkan sendi-sendi bumi
aku kehilangan nafsu makanku

hingga tertatih kukumpulkan nyaliku
untuk duduk di pangkuan semesta
berangkulan dengan langit menatap resah
suap demi suap kujejalkan gundah

Jakarta 24 Oktober 2011

~ menelan dendam ~

aku perawan yang basah oleh khayal
bercumbu dengan sekawanan rindu
dan kemudian diperkosa jaman
rusak bagai keju yang kelamaan

sedang kamu menggulung tawa dengan gegap
mengais cinta pada aspal yang beku
bercanda dengan takdir
bagai lupa bahwa kamu hanya manusia

ingin kutikam hatimu dengan rapalan doa sesat
agar tubuhmu lantak menyatu dengan tanah
ingin kujejalkan kutukan semu
pada otakmu kaku tak bergerak

tapi Tuhanku berkata lain
diberiNya ku buntalan kasih yang tak bertepi
hingga akhirnya aku mengerti bahwa
sendiri adalah kawanku yang sejati

bukan kamu


Jakarta 24 Oktober 2011

Minggu, 16 Oktober 2011

~ mencumbu nafsu ~

sang kala menjentik-jentikkan jari pada tubuh mendewasa
memercikkan gelora yang menyala-nyala dalam sukma
membentangkan degup hingga ufuk datangnya surya
kamu ada di sana

lalu saat batin sekuat tenaga mempertahankan norma
berbenturan keras dengan apa yang kita agung-agungkan sebagai agama
sedang rasa sedemikian meraja
kamu masih di sana

aku bertahan pertaruhkan malam tak jadi pagi
lalu pelan kamu mengetuk nurani
membuatku betah berlama-lama
mencumbu nafsu yang kurasa ia bernama

Jakarta Oktober 2011

~ cangkir ke sekian ~

kali ini kita duduk bersinggungan siku
dalam pemikiran sumir tentang gelap
tentang senja yang mengintip
berkerudung pekur

bisikmu, tunggu, aku punya sesuatu untukmu
kujawab, aku tak kemana, apa?
dari gelap kau sorongkan benda memancar kilau
kau sorongkan pula senyum bak kejora

kulemparkan pandang ke arah angin berwarna
lalu pada benda itu sambil memilin gugu
terasa sentak dahsyat luar biasa di dalam dada
memerindingkan kuduk serta merta

matamu memicingkan tanya : please?
kueja semua huruf dalam sanskerta, tanda gugup
telan pana pada kilau yang menyentak-nyentak
pada benda yang kutunggu-tunggu itu,

yang bernama cinta

De Luca, 12 Oktober 2011

Sabtu, 08 Oktober 2011

~ pinta kawan ~

sore itu dari puncak awan
kau selipkan rindu di sela-sela sukma
dengan tutur lirih berbungkus perih
menyemai luka makin dalam prana

"bukalah sedikit pintu itu untukku", pintamu
lembar suaramu berganti-ganti dengan deru angin cemburu
lalu terdengar awan bergulung-gulung memanggil hujan
"dingin", engkau menggigil

{lalu senyap. suaramu lamat. terlambat.}

Jakarta, 8 Oktober 2011

~ nir ~

rumah yang kusebut cinta itu roboh mendadak
tak menyisakan sedikit pun rasa
bahkan curiga enggan sapa
ibarat mata, buta

siapa bisa kusalahkan lenyapnya cinta
kala hati jua hilang nada
ibarat suara, bisu
ibarat lidah, kelu

herannya, tiada aku berduka
linang air mata kutunggu-tunggu dengan takzim
pun enggan meluncur
nir

Jakarta, Oktober 2011 setelah sekian lama diam. 

Jumat, 29 Juli 2011

~ harapan ~

masih berkawan sepi, bergulat ramai
ketika kau samar bilang rindu
dan kau bilang lelah bergelut dengan mimpi
yang tak kunjung nyata

katamu,"andai nyata itu menyapa, lalu menggamit kita"
"sungguh lelah rasanya berkejaran dengan dosa"
"dan melumat kepekaanku akan setia"
aku menelan ludah, terasa perihmu hingga ujung jiwa

sambungmu,"rasanya ingin jumpa mati saja"
"agar nirwana jadi tempat kita berlusuh-lusuh dengan cinta"
"dan perut kita kembung akan smaradhana"
aku menekur tanah, menangisi bumi

betapa, betapa rasa sering datang terlambat
dan kemudian memekik mendelik minta bicara
lalu....kau, aku menyerah
bahwa kenyataan tak selalu akur dengan harapan

Dalam SLJJ  2008-2011

~ munafik ~

lalu merdekalah kamu
hingga mengenai lingkar mega
yang laju iring-iringan menuju surga

lalu tertawalah kamu
penuh kemenangan, menandak-nandak meledek
melihat bunga jatuh gugur mati menendang bumi

lalu apa yang sebenarnya kau rasa
saat nuranimu tercekik gulita
dan dinding hatimu pun musnah ditelan sepi?
bahagiakah?

Jakarta 29 Juli 2011

Sabtu, 02 Juli 2011

~ ternyata masih ~

ternyata masih
(toujours)
it will never end

dan kamu
(et vous)
a man I always call : you

di sana
(là-bas)
so far away 


dan tergantanglah jutaan asa 
menempel pada kayu-kayu berjamur
lalu menjadi kerak pada hati yang kian merana
karena cinta


Jakarta, 2 Juli 2011 Selamat Ulang Tahun!

Senin, 13 Juni 2011

~ Puisi, vitaminku sejak kecil ~

Adalah ibuku, yang sedari aku kecil mengenalkan bahasa Inggris padaku. Dari aku kelas 2 SD, beliau gencar sekali mengajakku berlatih bahasa yang beliau kuasai dengan sempurna. Awalnya aku malas-malasan saja, namun ibuku tak kurang akal. Dipanggilnya anak-anak sebayaku di jalan Cut Nya Dien (rumahku di Kediri dulu) untuk bersama-sama diajarinya bahasa Inggris. Sebagai anak guru, tentu saja aku jadi tidak mau kalah dengan kawan-kawanku. Maka aku pun mau berlatih agar tak ketinggalan. Bayangkan, kelas dua SD itu aku sudah belajar grammar, tenses dan teman-temannya.


Namun ibuku tidak puas hanya mengajar tentang grammar, beliau juga memperkenalkanku pada puisi-puisi yang beliau hafal di luar kepala. Dua diantara aku masih ingat hingga kini :


The Arrow and The Song (Henry W Longfellow)

I shot an Arrow into the air
It fell to earth I know not where,
For so swiftly it flew, the sight
Could not follow it in its flight.

I breath'd a Song into the air
It fell to earth, I know not where

For who has sight so keen and strong
That it can follow the flight of a song?

Long, long afterward in an oak
I found the Arrow still unbroke;
And the Song from begining to end
I found again in the heart of a friend.


Dan ini ;

Stopping by Woods on a Snowy Evening (Robert Frost)


Whose woods these are I think I know.
His house is in the village, though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark, and deep,
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep. 



Secara rutin, ibuku membacakan puisi-puisi itu berulang-ulang, hingga kemudian telingaku serasa dipenuhi oleh ritme puisi itu hingga kini.
Aku pernah tanyakan mengapa beliau begitu gencar membacakan puisi-puisi itu di setiap kesempatan, jawabnya,"Puisi yang ditulis dengan penuh perasaan membuat orang-orang yang membacanya merasakan suasananya, dan dengan puisi, kita bisa mencurahkan isi hati tanpa memaksa orang lain untuk memahami, dibaca syukur, engga ya tidak apa-apa, yang penting kita bisa mengeluarkan uneg-uneg tanpa gembar-gembor". Dan aku setuju. Tigapuluh tahunan kemudian.
Betapa aku baru menyadari, bahwa orang yang memperkenalkanku pada puisi adalah ibuku sendiri. Dan aku bangga.


Jakarta 13 Juni 2011

Selasa, 07 Juni 2011

~ Percakapan ~

Berbantah-bantahan tentang komitmen membuatku mumet, sebenarnya. Tapi kamu keukeuh. Dan bila kulayani argumentasimu, bisa-bisa hingga esok pagi kita masih bersitegang. Aku menguap. Ngantuk.

Tapi kamu malah menggamit lenganku, kau sodori kopi luwak yang mahalnya minta ampun itu. Dan terpaksa aku menegakkan punggungku. Terpaksa. Tapi tidak untuk kopinya.
Lalu, katamu,"Coba kau terangkan lagi padaku, apa pendapatmu tentang komitmen?". Aku melotot. Sudah jutaan kali aku teriakkan pada hatimu, kupingmu, degup jantungmu, pendapatku tentang itu, dan sekarang kamu tanyakan lagi. Keterlaluan. Kamu ini budheg atau bebal, sih?

Tapi berhubung sudah disogok kopi limbah luwak yang harganya mencapai limapuluh ribu perak per sachet itu, aku bersabar (memang akau agak materialistis, itu aku tidak akan pungkiri hehehe).

"Dengar ya, ini untuk terakhir kalinya". Kamu manggut-manggut persis monyet ditulup (eh bahasa Indonesianya apa ya? ditiup? disebul? di...ah sudahlah).

"Ini pendapatku. Pendapat pribadiku, bukan nyontek, tapi hasil riset bertahun-tahun", ucapku membual. Tapi bangga. Sungguh tak jelas pengaruh kopi ini. Pukul 12 malam lewat dan harus membuat pernyataan tidak main-main, memang membuat kepala melayang dan halusinasi.

Begini kataku;
Pertama, komitmen itu adalah janji pada diri sendiri. Nah jika kamu punya kekasih, pasangan, dan kamu menyatakan mempunyai komitmen, itu berarti kamu telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyakiti hatinya. Kelihatan atau tidak. Dan tidak mengenal kata tidak sengaja. Pasti sengaja. Saat kau nyatakan cinta tapi belum berjanji pada diri sendiri untuk menjaga rasa, maka kamu tidak punya komitmen. Mulai ruwet. 

Kedua, komitmen itu adalah setia. Setia pada rasa. Pada cinta. Dan bukan nafsu. Apa pun alasannya, cinta bukan nafsu, dan nafsu sudah pasti bukan cinta. Bukan setia pada pasanganmu, tapi pada rasa sejak pertama kali rasa itu ditiupkan Tuhan. Jadi, kesimpulannya, komitmen itu berjanji pada Tuhan untuk setia.

Ada seorang kawan, dia mengaku memiliki komitmen pada istrinya, namun hidupnya berkelit dari satu wanita kepada wanita lain. Dia beranggapan harta yang ia serahkan pada istrinya adalah komitmen. Perhatian pada anak-anaknya adalah komitmen. Saking istrinya belum tahu kelakuannya. Dan kalau ketahuan? Apa masih bernama komitmen? Aku mulai melantur sepertinya.

Aku menguap. Serius menguap, hingga keluar titik-titik air mata di sudut kedua mataku. Kopi ini sudah tidak mempan mengganjal mataku. Sedang kamu masih berusaha bertahan. Mulutmu terbuka, seakan hendak melontarkan argumentasi baru.

"Aku tidak setuju,masih ada yang mengganjal dari pernyataanmu itu", katamu. 

Kali ini aku yang berkeras, lalu kuucapkan,"Sejak kapan kita harus saling sepakat tentang sesuatu? Aku tidak punya komitmen itu padamu, demikian juga sebaliknya.Tapi tolong pikirkan semua yang kuucapkan. Hubungan itu resiprok. Jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit. Jangan berkomitmen jika tak siap. Jangan mengaku setia jika tak bisa. Tapi bersiaplah kamu kehilangan Tuhan jika kamu khianatiNya. Bukankah cinta itu adalah IA?".

Kamu diam. Aku beranjak. Ingin tidur. 

Jakarta, Awal Juni. Percakapan ini belum berhenti rupanya. Dan tulisan ini untukmu, sobat.

~ cangkir keempat ~

tepat hari ini tiga tahun lalu, katamu
aku ingat, jelas ingat
saat keringat tandas oleh rasa
dan selalu sesal dan kemudian tak
dan kemudian diam dan kemudian bicara
tentang kamu dan gending-gending cinta sarat makna

lalu mengapa cangkir ini terasa retak
jika kau selalu datang dan tekun menambal?
atau aku yang bebal?
atau aku yang terlalu cinta hingga dungu?
hanya kamu yang tahu
selalu nyaris tahu

sejenak kau sesap hatiku dengan hati-hati
lalu berkata ,"Aku sudah mengerti"
dan kurasakan air mataku melaut, asin
"Dengar", lanjutmu
"Aku selalu menunggu Juni, karena kamulah Juni"
tiga tahun lalu serasa baru saja
namun tetap terasa cangkir ini retak

Surabaya, 7 Juni 2008 dalam ingatan kencang

Selasa, 24 Mei 2011

~ bosan ~

aku duduk menganggur berhadap-hadapan dengan hujan
hujan yang datang dengan beringas sejak siang
dan tak mau pulang
aku menunggu

kupikir-pikir, bosan juga bertengkar dengan kamu
pertengkaran yang tak pernah menemui ujung
karena hati yang dua-duanya menjadi fossil
kaku

maka aku sekarang bertambah kawan
yang sering menemuiku walau tak diundang
dan menanamkan rasa bagai duri tajam
bosan namanya

hujan masih beringas
aku masih menganggur dan berkawan bosan
sedang engkau nyap-nyap tak jelas apa maumu
kamu sangat tidak tahu siapa aku

Jakarta 24 Mei 2011

Rabu, 11 Mei 2011

~ Inspirasi ~

Seorang teman pernah bilang, inspirasi itu bagai maling, datang tak diundang, pergi pun diam-diam.. Aku sedikit setuju dengan pendapatnya, namun maling punya tujuan mencuri, sedang inspirasi justru mendatangkan sesuatu (pada benak kita), atau memang ada yang ia curi? Ah sudahlah....
Yang jelas, aku sedang menunggu datangnya inspirasi yang sudah sekian lama tak jua datang (diam-diam, mau pun dengan gemintang). Dan memang betul almarhumah ibuku bilang, biasanya yang ditunggu-tunggu itu tak serta merta datang, karena Tuhan memang gemar menguji kesabaranmu.

Dan selagi aku menunggu dengan takzim (atau lebih tepatnya pura-pura takzim), sahabatku Rampa' Maega, mengirimkanku sebuah tulisannya tentang hujan. Indah berbalut bahasa Inggris yang nyaris sempurna. Ia menulis tentang cinta, rasa dan keindahan. Seharian aku baca berulang-ulang tulisan itu, dan sekonyong-konyong inspirasi pun datang. Betapa hujan selalu membuat rasa mangu, ngelangut, memadamkan gejolak yang meluap, mengukir cinta pada khayal di hati yang diam-diam mendamba. Hujan pun meluluh lantakkan arogansi manusia yang suka menantang matahari. Hujan memberi sejuk pada garangnya. 


Oh, aku melantur... Ini dia tulisan yang kumaksud di atas. Dia menuliskannya untuk kekasihnya, dan ia ijinkan aku mengintipnya. Sekarang aku bagikan kepada anda, sahabatku semua :

~Rainfall~ by Rampa' Maega
“Count on me as the rainfall,” you indistinctly gestured it, but your eyes lingo’s clearly told me just that. It was the first thing came up in mind with no reasons at all, no explanations either. You don’t need such things, do you?

I always love rain as I enjoy reading the language on your face. It is a gift from the universe, but an overwhelming one will lead into calamity. It makes the buds sprouted, but in the other way around causes flood. Forget about human intervention on the last one! That’s not what I currently intend to talk about. Or perhaps, I don’t want to end up in a never ending debate which always wins you.

And your face which is suddenly becomes rain in my eyes, splashes alphabet in random order. It mostly comes as drizzle, but sometimes poured out heavily. Trade your eyes with mine, and you’ll discover how rich yours with space. One gigantic world, but tiny enough for me as you’re the only dweller on it. Both of us could possibly step on the same meadow, but there’s no guarantee we perceive the same grass.

“I begin to believe that you’re such a rainfall in human form,“ I whispered to convince myself. I am wet enough already before you came but I have no answer why this umbrella did nothing. The denser the clouds who sent you, the more I found myself dry. Perhaps, that’s why I don’t need this umbrella.

And at last, I found myself rotten …

Transformed into liquids …

Diluted …

Aqueous …

But still, eagerly to be showered by the rainfall: you.

Bandung, 6 May 2011 2:13 am.

Selamat menikmati hujan...
Jakarta 10 Mei 2011

Jumat, 29 April 2011

~ semua ~

tahukah kamu
apa yang terbaca dari raut wajahmu yang berkerut-kerut?
sebuah lautan ilmu tentang rasa
rasa yang bertautan enggan lepas

memindai hatimu di keremangan cakap
adalah sebuah pekerjaan yang tak pernah sia-sia
karena aku pasti akan menemui ujung yang gilang gemilang
yang pangkalnya berupa cinta

tahukah kamu
apa yang terdengar dari helaan nafas yang teramat berat?
sebuah samudra pikir tentang hidup
hidup yang berkelip-kelip enggan redup

mengertimu di tengah ramainya akal yang selalu pekak
adalah sebuah perjalanan yang tak pernah membosankan
karena aku pasti akan menemui mati yang berbuluh rindu
yang pangkalnya tak lain adalah cinta

semua berpangkal dari cinta
titik

Jakarta, 29 April 2011 

Selasa, 26 April 2011

~ dan kamu datang malam itu ~

Sabtu, 24 April 2011 menjelang tengah malam.

Menyibakkan tirai di tengah malam buta untuk mengintip gelap adalah di luar kebiasaanku, buat apa coba? Namun malam itu, gelap seolah memanggil-manggilku. Lirih namun kuat.
Kusibakkan tirai dan kaget  kudapati kamu mematung di balkon kamarku, memunggungiku. Sepertinya kamu memang sengaja menungguku. Buru-buru kupasang hijabku, kuganti bajuku dengan gamis hitam lalu keluar melalui pintu sorong menuju balkon.

Kamu menoleh, tersenyum tipis dan memajukan dagumu sepintas dan berujar,"Aku sudah menunggumu di sini lama". Kutunjukkan muka prihatinku dan kusahut,"Maaf, seharusnya aku lebih peka menangkap kehadiranmu".
Kamu diam. Ah, tanpa kubilang pun, pasti kamu tahu betapa menyesalnya aku.
Lalu kami diam.

Hanya tingkah angin yang dengan sok tahu menguping. Desaunya membuat ngilu pendengaran.Baju putihmu berkibar-kibar, dan rambutmu yang lurus seperti ombak yang beriak-riak. Tapi kamu tak hirau, malah seolah menikmati konser angin tersebut.
Akhirnya, suaramu,"Aku rindu pintamu akan aku, maka aku nekad saja datang ke balkonmu".
Aku tersenyum. "Iyalah, nekad..lantai 17 kan tidak rendah", dalam hatiku bicara.
Lanjutmu,"Aku sungguh berharap, permenunganmu selama beberapa saat ini, membuatmu yakin bahwa semakin lama kau perdalam ilmu cinta, semakin kau mengerti bahwa aku selalu ada".

"Cinta", tak sadar aku mendesah. Iya, memang dulu aku mencari cinta hingga ke ujung ufuk hati, ke sisi tebing rasa, berteman curiga, bernafas resah, dibelenggu cemburu. Hingga aku menemukannya. Sosok berbaju putih, berambut lurus ini. Cintaku yang terakhir malah hampir membunuhku. Dan dia menyelamatkanku.
Lanjutku,"Iya, aku sangat percaya padamu, seperti halnya kamu selalu percaya padaku". Bukan yang selalu mencurigai, tapi kemunafikannya membuatnya membelah hati untuk perempuan lain.

"Aku bangga pada pencapaianmu, kiranya Tuhan Sang Maha Pengasih selalu menyinari hatimu", sambil mengusap ujung tanganku, dan menghilang.

Tinggallah aku di balkon kamarku, di lantai 17, dibekap gelap, dikelilingi sepi. Bahkan angin pun sudah pergi serunut kepergianmu. Tapi hatiku terang benderang.

Jakarta, April 2011

Kamis, 07 April 2011

~ adakah? ~

Yaa Allah
Allah Lafzhul Jalalah
dan kumohon ampunanMu, Yaa Ghaffaar
atas dosa yang kukangkangi dengan bangga
atas maksiat yang kupanggul dengan suka cita
mengaliri darahku dengan keburukan
lalu mereka meninggalkanku kering kerontang

Yaa Allah
Allah Lafzhul Jalalah
adakah Engkau menangis melihatku, Yaa Syahiid
atas sombongku yang kusunggi dengan tawa
atas harta yang kugadang-gadang ke seluruh penjuru dunia
melesatkanku menuju kekufuran
membuatku lapar bagai anjing buduk mengais pujian orang

Yaa Allah
Allah Lafzhul Jalalah
padahal Engkau tak pernah lalai mengusap air mataku
dengan kasih sayangMu yang tak terputus, Yaa Rahiim
sedang aku terbirit menjauh dari nyata dan ilmuMu yang luas
sedang aku mengawani kemunkaran dengan jelas-jelas
merontokkan iman bagai angin menyapu kapas

Yaa Allah
Allah Lafzhul Jalalah
Yaa Allah, Yaa Samii', Yaa Ghafuur, Ya Qudduus,
apalah aku di hadapanMu
bahkan berkedip pun semata atas izinMu
ampuni aku atas segala sombongku (padaMu)
segala maksiat, segala dosa tak terbilang bagai butiran debu

Yaa Allah
Allah Lafzhul Jalalah
Yaa Allah, Yaa Muhshii, Yaa Muhyii, Yaa Tawwaab
adakah waktuku cukup untuk memohon ampunanMu?
adakah pemandu menuju surgaMu menghampiriku?
adakah?
adakah?


"Dan di antara mereka ada orang yang mendoa: `Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka`.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya".
(QS. Al Baqarah : 201-202)


Jakarta, 7 April 2011

Senin, 04 April 2011

~ cangkir ketiga ~

sesap
kau menyesapi
hatiku yang cair
yang kopi

matamu berbinar tanda cerdas
(kau mendelik, ini semua milikNya)
"ya..ya..engkau memang milikNya"
malam nanti aku akan membujukNya
memintamu

ini bukan cangkir kami yang ke tiga sebenarnya
cuma yang kebetulan ingat
karena di cangkir yang ketiga
aku serius
serius cinta

Jakarta awal April 2011



~ hibernasi ~

dalam tidur kudengar
berderik-derik suara
menderakkan hati yang lelap
dan membuta

sepintas seperti mimpi
tapi bukan
semua tentang hidup
seperti mimpi, tapi bukan

(Ia akan tunjukkan jalan bagi yang meminta)
meski berderak, berderik, tapi tak terserak
meski gempa tapi tak lantak
hidupku

hati sempat buta
mata nyalang mencari-cari
padahal cinta tenang-tenang di sana tak tercuri
takzim menunggu siapa yang berhak

sedang hidupku kini terpusat
tak ke mana-mana
hibernasi
menenang

Saat gempa melanda tanah Jawa ~ 04.04.11

Kamis, 31 Maret 2011

~ masa lalu itu bernama engkau ~

engkau adalah masa lalu
bagian yang berkotak-kotak abu-abu
dan tak pernah benar-benar hitam
atau putih

engkau adalah masa lalu
membiaskan ego menuju kehampaan
tak bercita-cita
tak ada harapan

masa lalu mengais masa kini
menggelayut hingga ujung gelap tak bertepi
tapi selalu gagal menjadi terang
kunamai ia : engkau

saat kakiku mulai tersaruk-saruk menyeret masa lalu
maka harus kutinggalkannya
dalam gorong waktu
dan menyuruhnya diam

Jakarta 31 Maret 2011

Selasa, 29 Maret 2011

~ ujian ~

dan hidupku adalah ujianku
setarik nafas
sejengkal langkah
sedepa keputusan

dan Ia meniupkan asa di setiap pemikiran
menghadapi ujian adalah harapan
harapan untuk ujian yang meluluskan
kapan?

maka hidupku adalah ujianku
setarik nafas
sejengkal langkah
sedepa keputusan

jika janji usai tunai
selesailah ujian den jalankan
dan nilai sempuna diri dapatkan
itulah kapan

Jakarta 29 Maret 2011

Jumat, 25 Maret 2011

~ saat awan gagal jadi hujan ~

maka cinta pun menggelinding makin jauh
tak terjangkau
walau terpaksa pun
lepas

gagap menggapai remah asa yang tertinggal
meraih baunya yang menggumpal
merah bagai darah
mungkin marah

melepas segala ingin cepat-cepat
agar hati luput berlumut
kecewa namun lega
begitu jika Tuhan belum berkata iya

Jakarta 25 Maret 2011

Rabu, 16 Maret 2011

~ tanya ~

kelokan malam sudah terlihat nyata di depan mata
malah kau ringkukkan hatimu pada senyap
membiarkannya bersenyawa dengan pahit
lalu apa yang kau mau dariku?

sementara aku berkoar tentang kebebasan
mencairkan beku yang serupa hitam
dan kubiarkan menjadi putih
kau di mana?

kini mengiba bagai lara kau pinta secuil hatiku
agar apa entah aku berkawan tanya
semua tentang kamu memang penuh tanya
dan aku lelah

Jakarta, 16 Maret 2011










Selasa, 15 Maret 2011

~ menjaga mimpi ~

betapa engkau menjadi bintang tadi malam
terang benderang bertarung gelap
dan menang

labirin hatiku pasrah kau jelajahi
hngga aku tak mampu lagi membendung
lalu nafsu

demi sebuah mimpi yang menjadi jaga
aku nyanyikan senandung doa
menusukkan nyata

Jakarta 15 Maret 2011

Selasa, 08 Maret 2011

~ soliter ~

rumpun ilalang itu duduk bersamaku
memandangi hamparan Lai Tarung yang dinginnya menggigit kulit
apa yang kau pikirkan? tanyanya
aku memilih bisu sebagai jawabku

ah kau selalu begitu, desaknya berderik-derik
aku menemanimu, dan kau diam saja
aku seolah  budheg, malah mencumbu desau angin yang berebut perhatianku
tidak harus kuucap kan? sanggahku

hatiku ini ada tuhanku di dalamnya
dan aku senang bercakap dengannya
kurasa, siapapun tak bisa menggantikannya, bukan?
kau tergelak...bodoh, tentu saja tak

jadi, aku tidak kesepian, kawan, jelasku
aku sibuk
kalau engkau hendak paling
aku tak menghalang

desau angin makin ribut mencari kerling
sedang mataku penat, kulitku berkerut-kerut
otakku menggasing
walau soliter

Lai Tarung dalam angan, 8 Maret 2011

Senin, 07 Maret 2011

~ menigabelas ~

terasa masih seperti kemarin
tangismu meluluh-lantakkan bumi
berebut buku, boneka, pensil, apa saja, dengan mbakyumu
betapa senggukmu mencincang kalbu
walau kadang aku susah sabar

selain tangis, sepanjang masa kecilmu
adalah diam
kemana kau pergi, berkarib ia
bahkan tak jarang menjadi jawara
menguasai(mu)

tapi sejujurnya aku yakin
hatimu ramai riang gembira
penuh tanya, jawaban dan kesimpulan
penuh pikir, renung dan permakluman
hatimu sebenarnya sedang menguasai dunia

kini, jejak kemarin masih nyata di tanah yang selalu berdenyut
dan terang terbentang jalan panjang yang mungkin lurus, mungkin berliku
yang bernama kehidupan
genggamlah, sambil senyumi
tegakkan punggung, melangkah dengan ringan hati
berikan terbaikmu

Tigabelas tahun lalu, dan bentangan masa depan,
Rahayu Jasmin Paramita Abikusno, selamat milad, 
Kiranya Allah SWT selalu melindungimu dalam suka dan duka...


Jakarta 7 Maret 2011

Sabtu, 05 Maret 2011

~ cintamu adalah... ~

benda itu di dalam mulutku
meletuskan isinya dan memenuhi ruang di luarnya
manis, melangitkan rasa
lalu menyisakan gemas
lantas kau desahkan suaramu yang berat
mengganggu nikmat yang menggelinjang ujung lidahku
"jawablah...."
ku jawab dengan mulut yang masih mengerjap
"terserahlah..."

aku tak peduli matamu yang bagai loncat
"sungguh...?"
lalu mulutku sibuk lagi
mencari-cari sensasi
dan memaksa geligi merajam geliatnya
aku menatapmu
"cintamu seperti klepon ini"
kamu tergelak
"meledakkan rasa", tuntasku

aku serius.

Malam Minggu di suatu tempat di Jakarta, 5 Maret 2011

Rabu, 23 Februari 2011

~ origami? ~

sejauh ini sudah melipat
memperkecil
atau hanya menyederhanakan sih?
ah bagiku tetap memperkecil
karena semakin rumit
berlagak mengelanakan impian 
dan menambatkannya pada jutaan bintang
lalu menjadi gantungan rasa pada hembusan angin
yang tidak selalu ramah

sejauh ini sederhana menjadi rumit
kala engkau meniduri punak tajam 
nyelekit
begitu orang-orang bijak bicara
dan bukan sesuatu yang mudah, sebenarnya
kala engkau menjadi budak 
dan menuhankan cinta
di atas Tuhan itu sendiri
kuwalat

Jakarta, 23 Februari 2011 dalam origamiku sendiri





Selasa, 22 Februari 2011

~ tidak semua ~

membelah senja menujumu
meninggalkan remah-remah masalah yang tidak pernah remeh
sekedar untuk membaui lekukan senyummu
ini tentang kamu

hanya selalu merasa keliru bicara rasa denganmu
memindai galaunya sorot mata yang selalu basah oleh cinta
bagai menantang Tuhan dan seluruh ajaranNya
ini selalu tentang kamu

senja masih ribut, ngotot menawarkan nafsu
skin to skin, eye to eye
memaksaku mencumbu masa lalu, sebentar
karena sesudahnya aku bangun dari pingsanku :

tidak semua hal adalah tentangmu

Jakarta 21 Februari 2011

Jumat, 18 Februari 2011

~ reuni ~

adalah wajah-wajah berbau pilar-pilar kampus
semburat tawa, olok-olok renyah
masa lalu
foto copy
teh botol
risoles isi ayam
"cangkruk" lantas titip absen

adalah wajah-wajah umur pertengahan
dengan dua dekade cerita berjejalan
bergulung-gulung
susah, senang, tumpah ruah
ingatan berlompatan melipat waktu
wajah-wajah itu
ada yang terlupa
ada yang selalu melekat

adalah bertemu dengan masa lalu
yang membentangkan benang kenangan
merenda menuju kekinian
cerita tentang anak
tentang olah raga
tentang makanan sehat
daya upaya menahan renta
adalah
cerita tentang kami
wajah-wajah tak pernah tua....

Senayan City, 18 Februari 2011

Kamis, 17 Februari 2011

~ galau ~

dix heures par nuit

la pluie

sombre

la télévision en lumière

bruit encore de la condamnation

mon cœur histoires toujours sur vous

l'insomnie

Senin, 14 Februari 2011

~ mendendang sesal ~

mendendang adalah kala selarik nada memenuhi pikiranmu
mengelanakan lamun jauh hingga ke ujung ufuk
menggumamkan rimbunan kata yang bergumpal-gumpal
mendendang

bagaimana sesal mampu mendendang?
sedang itu adalah sebuah rasa yang tak nyaman
kenyataannya bernyanyi demikian, kawan
sesal membuatku mendendang, agak lama

kutata sedemikian rupa rencana yang runut
rencana berupa apa saja
lalu saat kutapakkan kaki mengikutinya, aku lupa
lupa serupa apa rencana itu

andai Tuhan mengijinkanku memutar waktuku
(artinya waktu orang lain pun harus berputar)
(maka Tuhan tidak pernah ijinkan hal demikian, itu baru ku tahu)
maka langkahku pasti tak salah
atau memang demikian takdirku? entahlah

kini, di pagi yang lembab
sesal masih menggaung, dan menjejali ruas-ruas pikirku
hatiku meranakan pinta
akan sebuah pemberian maaf yang teduh

Jakarta 14 Februari 2011


Kamis, 10 Februari 2011

~ menjawab pinta ~

mengaduk rasa adalah keahlianku
menahan sakitnya hati adalah nama tengahku
bahkan sabar pun menjadi nafas tunggalku
dan kulakukan semua sendiri, bergelung bangga

lalu,
lalu tiba-tiba engkau mengaku bagian dari hidupku
padahal secuil pun tak
bahkan sekedar lewat saja tak

lalu,
lalu mengapa kini aku merasa engkau menagih janji?
padahal utang rasa padamu pun aku tak pernah
ingin pun enggan

menjawab pintamu yang menurutmu janji
adalah bagai menguapkan abab yang melembab
berat karena kesal
apa yang perlu kujawab, sebenarnya?

Jakarta medio Februari 2011

~ Puisi Kehidupan ~

Sebuah puisi permenungan, karya Alm. Chairil Anwar

Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan

Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku

Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?

Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah

Jakarta, 10 Februari 2011

Senin, 07 Februari 2011

~ mendendang pikir ~

kuselonjorkan kaki melintas tanah ku berpijak
lalu kusandarkan punggungku yang kaku pada cerita lalang
mataku terpejam
membutakan telingaku
agar hanya suaramu yang murni mampir
tapi hanya senyap kudapat
bahkan detak jantungku pun malu-malu

rupanya otakku justru sedang ramai bercakap
sendiri, monolog
mencairkan gumpalan misteri yang mulai membatu
memecahkan teka-teki kehidupan diri
dan mengurainya menjadi pilinan yang jelas
tak heran suaramu tenggelam
kalah jauh dengan pikiranku yang cerewet

Jakarta 7 Februari 2011

Jumat, 28 Januari 2011

~ jujur ~

berkata pagi padaku,
"maafkan atas mendung yang mengejek"
"sungguh kurang ajar dia, senang betul menempel tenarku"
memang benar
pagi ini mendung terasa menyengat
seolah menandakkan tawanya
tanpa suara
persis serigala menyeringai

pagi bilang lagi,
"tapi kupikir-pikir, banyak juga yang suka tawa sembernya itu"
"buktinya? kau malah menggeliat penuh kepuasan"
ah, jadi malu
ketahuan betapa munafiknya aku
padahal jika aku mau jujur
mendung membukus hangatku
menghapus getirku dan mengantarku memuncak

masih tersisa dua jam lagi untuk disebut pagi
aku tak mau tertinggal waktu
maka kusingkap selimut puraku buru-buru
dan mengusap mendung dengan segala mesra
kubisikkan sebaris kalimat sehalus mungkin
agar ia tak tersinggung, tentu
agar ia segera beringsut mandi
"aku bahagia"

Jakarta, 28 Januari 2011

Selasa, 25 Januari 2011

~ rasaku pada sore ~

sore selalu membuatku melangut
padahal telah kubenamkan lambungku
pada secangkir kopi
dan kusumpal jantungku dengan sepotong kue manis

entah apa yang membuatku seolah melipat masa
meloncat pada dimensi yang berbeda
sore seakan menelanjangi ranaku
dan mengambil sebagian memori otakku

tapi aku tidak benci sore
tidak juga mendambanya, biasa saja
masih kalah dengan nafsuku pada pagi
barangkali karena itu maka ia cemburu

Sore ini tak ada kopi, hanya teh... 25 Januari 2011

Senin, 24 Januari 2011

~ sakit ~

sedang aku masih menelan kemunafikan
kujadikan pil pagi
pil siang
dan pil malam
tiga kali sehari
cukuplah

aku sakit, kata emakku
kukatakan padanya aku kaya
padahal kukais dompetku
hingga jebol jahitannya
saat kubeli nasi di warung depan
saat kubeli nyawaku dari matamu

kukatakan padanya
semua baik-baik saja
padahal kututupi borokku dengan minyak wangi paling mahal
utangan, tentu
kurasa emakku tahu
tapi aku punya pil andalan, tidak peduli

munafik sepertinya sudah jadi darahku
membelit
mengkanker
emakku was was memandang tingkahku
yang sulit sekali jujur
pada jantungku

aku sakit
maka kuminum obat
hingga makin parah
dan kutunggu detak jantungku berhenti
saat itu munafikku selesai
aku jujur, aku mati

Jakarta 24 Januari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

~ menjadikan simpuhku doa ~

Tuhanku,
tempatku menumpukan seluruh hidupku
tempatku kembali

ampunilah aku
(dari segala dosa yang yang tak berbilang)
(dari segala maksiat yang rekat)
(dari segala kotor yang menjadikan aku benam)

sayangilah aku
(karena Engkaulah sumber segala cinta)
(bahkan, Engkaulah Cinta)

tutuplah seluruh aibku
(yang hingga kini masih menjadi telanjangku)
(terlisan, terlihat, terasa)

angkatlah derajatku
(dan Engkau kumpulkan aku dengan ummatMu yang terpilih)
(bukan yang bukan)

rizkiilah aku
(dengan rizki yang Engkau jadikan nafasku)
(yang dengannya aku menderma dengan suka cita)

tunjukilah aku
(menuju lurus yang sungguh-sungguh)
(dan menjauh dari yang Engkau tidak suka)

sehatkan aku
(sehingga aku sehat luar dalam)
(luar dan dalam)

maafkan aku
(jika dalam inginku menguar ego memalukan)
(tapi, bukankah Engkau tahu segala yang tersembuyi?)

Jakarta, 21 Januari 2011
**Sesungguhnya sholat itu adalah "berhadapan hati (jiwa) kepada Allah SWT, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesaran dan kesempurnaan kekuasaan-Nya serta mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya" (Hasbi Asy-Syidiqi, Pedoman Shalat, Bulan Bintang, 1976, 59)**

~ déjà vu ~

masih tentang sup kacang polong
terulang lagi sore ini
haruskah kutemui déjà vu?
persis tepat sore-sore begini
denganmu, lagi
sayup suaramu melembut
"masih terlalu dahsyat untuk sekedar cinta"
sup kacang polongku mendingin cepat
kaget

Sore yang tumben tidak hujan, medio Januari 2011
                                                     

~ dialog sepi ~

sepi membungkus mulut
karena sudah terlalu biasa, mungkin
tak ada yang menarik untuk dijadikan berita
cinta?

dia termenung memandang jendela
yang diciumi dentam hujan yang terkesan kejam
jari-jarinya bertautan membentuk gulana
cinta?

tampak piring-piring sudah dicuci bersih
dilap dengan hati-hati
diatur dengan urutan yang dia tahu
karena cinta?

sang lelaki melirik perempuan itu dengan sudut mata paling sempit
mencoba berkata
tapi akhirnya hanya dadanya yang mendengar
"masih cintakah aku padanya?"

Jakarta, 20 Januari 2011

Rabu, 19 Januari 2011

~ sering kali aku berkata ~

Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipanNya,
bahwa rumahku hanya titipanNya,
bahwa hartaku hanya titipanNya,
bahwa putraku hanya titipanNya,

tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika semua itu diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,

Seolah …
semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah …
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja”
(W.S. Rendra)

Kala diri menggugat rasa rana yang tiba-tiba datang, bertanya dengan kesedihan yang dahsyat pada Tuhannya. Tidakkah ia sadari bahwa Tuhan begitu mencintai ummatNya yang sabar dan berserah diri? Bahwa apapun yang terjadi semata karena IA begitu mencintai? Hanya cinta. Lalu, apakah kita juga cinta?


**terimakasih khususon kepada mas Andre Bhirawa yang mengirimkan bait puisi Rendra di atas pagi ini. Semua karenaNya.**
Jakarta, 19 Januari 2011