Selasa, 20 Desember 2011

~ catatan untuk Ra ~

"kadang, melepaskan bayang adalah impian terbaik"
(catatan untuk Ra, sahabatku)

Sore itu aku sedang menikmati vanilla latteku bersama Ra, sahabatku. Sedang ia lebih memilih american coffee dan sepotong brownies untuknya.. Bercerita kami tentang rasa, cinta dan cita-cita. Dia dengan cintanya, aku dengan cita-citaku. Terlihat beban begitu menggelayut di sudut matanya, menyeret hatinya menuju tebing kegalauan. Ah apa yang selama ini kulihat darinya, ternyata tak sejelas sore ini. Betapa wanita yang satu ini pintar menyembunyikan apa yang dirasakannya. Berceritalah ia tentang kisah cintanya pada lelaki yang bukan miliknya. Lelaki yang dia rasakan sebagai cinta sejatinya, namun terhadang oleh banyak sekali kendala.



Akhirnya tembok kokoh itu pun runtuh juga. Air matanya berderai ditemani hujan yang turun deras sore itu. Hatiku meluluh, ikut merasakan deritanya. Betapa cinta telah meluluh-lantakkan nuraninya. Cinta yang jauh dari jangkauan, cinta yang dia tahu bukan miliknya.

Aku tergugu. Memandang nanar tubuh wanita ringkih ini dengan segala bebannya. Dan lalu ceritanya membuatku berpikir keras. Mustikah cinta yang sedemikian dalam harus berlaga dengan logika. Lalu di manakah cinta itu sebenarnya? Wanita yang kukagumi karena kecerdasannya ini bisa demikian lemah menghadapi cintanya yang terlalu kuat mencengkeram hatinya. Cinta yang tak seharusnya.

Sesaat aku melihat menembus hatiku sendiri. Saat hati ini sudah tertutup untuk cinta, ia datang membawa senyum. Ia yang kukagumi sebagai teman. Seorang yang mempunyai kharisma dan keteguhan, memiliki konsistensi dan cinta yang dalam terhadap pekerjaannya. Bahkan aku demikian mengagumi nama panjangnya yang sungguh indah dieja. Ialah yang dalam waktu sekejap membuatku tersenyum dengan ceritanya. Ia yang mencairkan kebekuan hatiku dengan gelak dan canda. Hatiku mendadak menghangat. Merindunya. Tapi ia sungguh tak tergenggam, dan memang kubiarkan saja ia di sana dengan seluruh kekagumanku. Membiarkannya mengejar cintanya, merelakannya, mendoakannya.

Kembali pada Ra dan cintanya, yang terasa olehnya makin jauh dan tak terjangkau. Yang kenyataan tidak sejalan dengan apa yang dirasa dan didambakannya. Aku sungguh jatuh iba padanya. Ingin kusentuh hatinya dan kukatakan bahwa kadang memang kita harus berdamai dengan kenyataan dan tak memaksa hati lebih lara lagi. Menjadikan hati ikhlas dan memahami bahwa cinta tak selalu bisa dimiliki.
Bukan hanya karena status, namun mungkin juga karena hati enggan bergerak untuk mendorong akal melakukan perubahan.
Aku sungguh meyakini bahwa hati itu bersuara lirih, kalah jauh oleh akal yang suaranya pekak senantiasa berteriak dan memaksakan kehendak. Padahal suara hati yang setengah berbisik itulah suara Tuhan, suara kebenaran, tunggal dan tak tergoyahkan.Dan hanya jika kita mau meredakan pikir sejenaklah, maka kita bisa mendengar suara hati. Maka jika hati enggan mendorong akal melakukan perubahan, barangkali memang demikianlah yang seharusnya.

Maghrib tiba, adzan mengundang kami untuk segera beranjak dan menunaikan sholat. Di dalam musholla yang luas dan lega itu, kami berdua melepaskan segala ingin kepadaNya. Bermunajat, meminta, agar diberi keluasan ikhlas dan bisa mendengar suara hati, suaraNya. Bibir kami bergetar menyebut namaNya. Mengingatnya. DzikrulLah. Hanya Dia Yang Maha Menguasai Hati. Allah...Allah...
Kulihat wajahnya menjadi damai. Senyum indah menghiasi raut Jawanya. "Lega", ujarnya. Aku mensyukuri pertemanan kami ini. Betapa berbagi rasa itu menjadikan gulana berangsur lenyap.

Kukatakan padanya,"Cinta memang tak harus dimiliki, mencintai dari jauh kadang lebih menenangkan daripada memiliki raganya. Dan melepaskan bayang adalah impian terbaik saat ini." (sepertinya aku sedang menasehati diriku sendiri). Ra sejurus tersenyum, dan memelukku.

Wanita memang harus pandai menyembunyikan perasaannya.

Jakarta, 20 Desember 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar