dia yang kupanggil maitreya
nama sakral yang senantiasa menggeliat di dalam kalbu,
yang sebelumnya lantak terputus asanya,
dan lalu ia memungut satu per satu puing itu dan memeliharanya hingga kini
ia yang tak enggan mendengar semua keluhku yang seringkali tak masuk akal,
kekanak-kanakan,
kemarahanku yang seringkali brutal,
bercampur galau tak jelas,
yang tak seorang jalma pun pernah mendengar, memahami, kecuali, ya kecuali maitreya
mungkin sih ia bosan tapi aku tak peduli,
semata karena rasa percaya yang menyentuh langit,
rasa yang setengah mati kuolah agar tak menjadi kasar dan bantat,
semata karena ia guruku,
guru yang ku yakin tak kan pernah membosankan,
walau berjam-jam kelasnya
ia yang kupanggil maitreya,
nama sakral yang menggeliat di dasar naluri kewanitaanku,
yang harus kutahan agar tak runyam
dan selalu ia paham betapa berat aku berusaha,
dan ia sabar saja
dia, maitreyaku.
Sang Penjaga Hati
Jakarta, penghujung 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar