Senin, 13 Desember 2010

~ kisahku ~

adegan pertama :
10 Juni 1996
hari ini adalah ulang tahun pernikahan kita yang ke tiga,
ku telah siapkan kejutan makan malam istimewa,
kau tersenyum bahagia,
kita bahagia...

adegan ke dua :
menginjak tahun ke lima,
ada tawa riang anak kita,
dan sedang kubopong yang kedua di dalam perutku,
kau sudah mulai sering murka, entah mengapa...

adegan ke tiga :
sebulan lagi enam tahun kita bersama,
suatu hari kita sedang berdebat tentang sesuatu, aku lupa,
tapi satu yang tak kan ku lupa,
aku mendapatkan tamparanmu yang pertama,
dan kau banting pintu itu,
lenyap sudah baumu, tidak sakitku...

adegan ke empat :
kau mengiba, seolah hargamu runtuh di ujung kakiku,
aku?
ah sudah tentu kumaafkan engkau,
karena kau cintaku yang tumpah...

adegan ke lima :
adegan ke tiga terulang lagi, makin kerap,
adegan ke empat pun juga terjadi makin rapat,
aku?
aku selalu mencintaimu, ingat?

adegan ke enam :
kali ini kau banting aku ke lantai,
persis seperti jagoan tae kwon do berlawan mudah,
hanya sekali ini lain dari adegan-adegan lalu,
kau lakukan di depan anak-anakku, yang anak-anakmu...

adegan ke tujuh :
sebenarnya aku makin pintar mengantisipasi murkamu,
tapi tetap kau lebih sigap,
makin jago menyergap,
dan aku lunglai dalam kekalahan yang telak...

adegan ke delapan :
5 September 2010
kali ini aku menyerah,
ku serahkan nyawaku di tanganmu,
semoga kau puas,
pertandingan ini kau menangkan dengan seringai pias,

kawan,
adegan di atas bukan scene sebuah sinema eletronik di televisi,
bukan rekaan, mereka nyata, kenyataan,
hanya sesal yang kubawa menghadap Tuhanku, yang kecewa,
karena telah kudidik generasi penerus yang selalu murka,
generasi pemukul wanita, generasi yang putus asa,
seperti bapaknya,
generasi lemah,
seperti ibunya....

Satu lagi, cerita tentang kekerasan terhadap wanita yang temanku,
Jakarta bilangan Desember 2010



2 komentar:

  1. ketika yang bicara bukanlah hati nurani, maka indra yang sudah tertutup, meluapkan nafsu angkara.
    Bukan akal otak dan indra ragawi, tetapi adalah nurani yang tulus dan suci, mampu mengalihkan energi emosi.

    BalasHapus
  2. Anonim : terimakasih atas tanggapan yang melengkapi. Sila beri komentar pada puisi yang lain, saya tunggu :)

    BalasHapus